23/06/11

PERANG NGALI 1908-1909

pulunk_ Satu abad yang lalu, di wilayah lokal Bima, di region Kae, tepatnya di Ngali (Desa Ngali, Kec. Belo Sekarang) terjadi sebuah eskalasi perasaan kecewa terhadap lemahnya kontrol otoritas kekuasaan lokal (Kesultanan Bima-Sultan Ibrahim) terhadap merajalelanya konsep kolonialisme V.O.C Belanda.
Awalnya, Masalah ini hanyalah menyangkut kewajiban membayar pajak, yang mana tetap diusahakan untuk dipenuhi oleh seluruh masyarakat Bima pada waktu itu.
Pasca 1905, perlawanan rakyat Aceh dapat dilumpuhkan oleh Belanda, tetapi Perang Aceh telah menguras kekayaan Belanda, sehingga untuk meneruskan konsep kolonialismenya di wilayah Tengah dan Timur Nusantara (Makassar-Sumbawa) dan sekitarnya, biro dagang belanda ini lambat laun mempengaruhi kekuasaan lokal untuk lebih mengintenskan penarikan pajak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas perolehan pajak.
Masyarakat Ngali (wilayah Kae umumnya) menangkap gelagat ini setelah adanya tukar informasi dengan veteran perang aceh di kota Mekah, saat menunaikan ibadah Haji, karena memang tercatat dalam sejarah lokal Bima, dan dalam oral history (cerita lisan) yang berkembang di wilayah Ngali, orang Ngali termasuk kelompok masyarakat dari Bima yang pertama kali menunaikan ibadah Haji ke Baitullah, sehingga faktor informasi inilah yang menjadi salah satu pendorong betapa masyarakat Ngali tanpa ragu dan takut untuk “membela wibawa Sultan Ibrahim” di hadapan kesewenang-wenangan Belanda dalam bentuk perlawanan bersenjata .
Perang yang berlangsung dalam 3 tahap besar ini, berakhir dengan tewasnya pimpinan ekspedisi Belanda, Letnan Vastenour, berikut ratusan prajurit (Baik Belanda totok maupun prajurit Marsose/gabungan), di setiap perbatasan Ngali yang diliwati oleh Sungai Besar yang pada waktu itu memang terjadi hujan yang mengakibatkan terjadi banjir deras.
Dengan taktik “membunuh kejut” dan” membunuh senyap” banyak prajurit belanda yang meregang nyawa, terbukti di Kampung Soro Desa Ngali ada kuburan Massal prajurit Belanda yang disebut “Rade Bari” yang berarti Kuburan bagi Pasukan yang datangnya berbaris-baris.
kaitannya dengan eksistensi generasi muda dengan peristiwa yang berlangsung satu abad yang lampau adalah bagaimana generasi muda secara arif untuk menghidupkan kembali nilai-nilai moral yang masih dianggap relevan dengan masa sekarang untuk dijadikan sebuah local value yang membimbing karakter personal untuk tampil lebih menyejukkan.
Fakta-nya adalah, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan peristiwa-peristiwa tindak pidana dengan pemberatan yang dilakukan oleh generasi muda Ngali, baik itu bentrok antar personal maupun bentuk konflik lain yang bersifat massive.
seyogyanya, spirit La Ilaha Ilallah yang berkibar sebagai panji perang Ngali, harus mampu di reformulasikan oleh generasi muda untuk membangun masyarakat, in every singel dimension (dalam setiap lini).
kalau saja generasi muda mau mencermati untuk kemudian mencoba meng-elaborasi nilai-nilai tersebut, tidak perlu jauh-jauh.
Dalam deskripsi filosofis fisik monumen peringatan perang Ngali telah tergambar dengan jelas watak dan karakter para Syuhada, lewat penjabaran site n shape monumen perang Ngali inilah generasi muda harusnya mengambil titik refleksi, dalam setiap penyelenggaraan hidup masyarakat, apakah itu kebutuhan untuk pencarian jati diri? apakah untuk mencari format integrasi personal? apakah untuk problem solving?, semuanya,… karena memang nilai-nilai yang tersirat di situ adalah kristalisasi ajaran-ajaran Dienul Islam yang pada waktu itu sesuai dengan kebutuhan untuk mempererat sendi-sendi kehidupan.
Apakah generasi sekarang tidak mampu lagi berposisi sebagai penerus pembangunan?
Apakah generasi sekarang mudah menghianati pesan-pesan pendahulu?
Apakah generasi sekarang sudah mampu menciptakan dunianya sendiri?
inilah daftar pertanyaan yang harus terus direnungi oleh tiap generasi jika tetap ingin berperan nyata dalam pembentukan masyarakat dan peradaban yang berkembang menuju cita-cita kebaikan dan perbaikan.
jika kemudian generasi terlena atau dilenakan oleh fenomena individualistis, konsumptif, hedonis yang merupakan derivasi dari efek buruk globalisasi dan akulturasi, maka sudah saatnya generasi untuk kembali meng-elaborasi nilai-nilai luhur dari daftar catatan perjuangan para pendahulunya, sebagai referensi relevan bagi penataan di masa kini dan akan datang.

http://ngalitown.wordpress.com/2008/12/22/perang-ngali-1908-1909/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar