23/06/11

DINAMIKA POLITIK KESULTANAN BIMA ABAD 17 – 18 M


BAB I
PENDAHULUAN

Bima merupakan daerah tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebelum bergabung dengan NKRI Daerah Bima telah melewati perjalanan sejarah yang panjang, dari masa sebelum Islam yang hingga kini masih sulit untuk diungkapkan serta dipaparkan sejarahnya karena keterbatasan sumber, Hingga pada masa-masa proklamasi kemerdekaan pergolakan masih terjadi walaupun sifatnya dalam skala lokal.

Dalam konteks Sejarah Nasional Peran Bima dalam Dinamika politiknya jarang diungkap. hal ini mungkin dikarenakan porsi partisipasi pergolakan kekuasaan di sana banyak bersifat lokal dan regional wilayah saja. Selain itu penulisan sejarah tentang Bima juga banyak dilatar belakangi oleh Nasionalisme berlebihan sehingga tulisan-tulisan sejarah lokal tentang peran Bima dalam dinamika politik nasional terkesan dipaksakan. Dari sini penulis berusaha membuat tulisan dengan landasan historis lokal yang juga memaparkan karakteristik masyarakat Bima, sehingga selain pembaca bisa mengetahui Dinamika kekuasaan di Bima, pembaca juga bisa menilai sendiri bagaimana kondisi masyarakat Bima Abad 17-18 M.

Masyarakat Bima adalah masyarakat dengan kontruksi yang heterogen. Dalam masyarakat Bima terdiri dari komposisi ras yang lumayan beragam. Kapan dan bagaimana Bima bisa memiliki komposisi masyarakat yang demikian secara historis penulis akan mencoba memaparkan dalam tulisan ini yang mengangkat judul “Dinamika Sosial dan Politik Kesultanan Bima Abad 17 – 18 M” Bima masa kesultanan atau menurut Bpk. Ari Sapto M.Hum (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang) lebih tepat disebut Kerajaan Islam Bima yang dalam sejarahnya banyak ikut serta dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama dalam masa awal pemerintahan kerajaan Islam Bima sekitar abad 17 M. 

Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan serta monopoli Perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangan selanjutnya ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di pulau sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda. Dari awal abad 17 M sampai pada awal abad 19 M Belanda sebagai kongsi dagang (VOC) maupun Belanda Sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha Hegemoni kekuasan di wilayah ini, baik dengan politik Adu domba maupun dengan melakukan berbagai perjanjian akhirnya berhasil menguasai penuh lingkungan Istana, sehingga berujung dengan perjanjian yang dikenal dengan “Conract Met Bima”. Perjanjian ini menujukkan Bahwa kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah Hegemoni Hindia Belanda.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Bima Pada Masa Awal Kesultanan

Sebelum membahas lebih dalam tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, untuk lebih jelasnya penulis ingin mengupas secara umum kondisi Bima sebelum Era Kesultanan walaupun sulit untuk menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada saat itu dikarenakan keterbatasan sumber, namun beberapa tulisan terdahulu tentang kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam sebelum lebih lanjut Islam masuk ke dalam kancah Politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’a2 yang terletak di desa Sowa kec. Donggo, Pesisir Barat Ujung Utara Teluk Bima.

Dalam proses masuknya Islam di Bima terdapat beberapa pendapat, diantaranya dalam buku “peranan kesultanan Bima dalam perjalanan sejarah nasantara” karangan M. Hilir Ismail menyebutkan Islam tersebar di wilayah lombok dan sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra sunan Giri pada 1540 – 1550 M, selain arus Islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi pada sekitar tahun 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (Catatan lama Istana Bima).
Kesultanan Bima dalam kancah perpolitikan Nusantara pada Abad 17 banyak mengalami berbagai pergolakan baik di Bima sendiri maupun di wilayah timur nusantara. Hubungan Bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik selain karena persamaan Ideologi Kerajaan (Islam) juga karena adanya Hubungan darah antara pemegang kekuasaan kedua Kerajaan.

Seperti yang telah dibahas pada Sub-bab sebelumnya, Islam masuk ke Wilayah pemerintahan kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Disamping itu perkawinan antara Sultan pertama Bima Sultan Abdul Kahir, sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan Intrik politik yang cukup popular pada abad-abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral Kedua kerajaan.

B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda Dalam Dinamika Politik di Kerajaan Islam Bima.

Kontak pertama antara Bima dengan orang-orang Belanda telah dimulai sejak awal abad ke 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara raja Bima, Salasi dengan orang Belanda bernama steven Van Hegen pada tahun 1605. Dalam sumber local perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui, namun pada masa-masa berikutnya tampak telah terjalin hubungan dagang antara Bima dengan VOC yang berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komodii lainnya.

Secara politis hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai Akibat keikut sertaan Sultan Biama, Abdul Khair Sirajudin membantu kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanudin terpaksa menanda tangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1667, yang dikenal sebagai perjanjian Bongaya. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan kerajaan Bima dengan kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling Membantu. Dalam kontrak tahun 1669 Bima memberikan terobosan pada kompeni untuk
berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadinya tergantian raja atau sultan kontrak baru pun dibuat selain untuk tujuan memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga secara perlahan-lahan kompeni bermaksud untuk mempatkan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau sumbawa di bawah kekuasaannya. Selain itu pertikaian antara elit penguasa di pulau sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan pada VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh pada tnaggal 9 Februari 1765 VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa yaitu: Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar Gubernur VOC bersepakat denagn Abdul Kadim Raja Bima, Datu Jerewe raja Sumbawa, Ahmad Alaudin Juhain Raja Dompu, Abdul Said Raja Tambora, Muhamad Ja Hoatang Raja Sanggar dan Abdul Rachman Raja Pekat, untuk secara bersama-sama dengan VOC memelihara ketentraman, bersahabat baik dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di pulau sumbawa baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya, demikian juga prosedur-prosedur dari masa yang berbeda-beda yang telah dibuat dengan VOC masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada tahun 1675 VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbharui lagi pada tahun 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Mula-mula ditempatkan seorang dengan jabatan Koopman atau Onderkopman, kemudian seorang residen dan akhirnya seorang Komandan. Pada tahun 1708 J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama, namun pda tahun 1771 jabatan residen digantiakan oleh jabatan komandan sampai tahun 1801.
Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan yang abadi didasarkan atas ketulusan, kepercayaan dan kejujuran. Dan sebagai konsekwensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di pulau sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa eropa lain atau dengan seseorang kecuali dengan persetujuan dan ijin dari VOC. Meskipun demikian berkaitan dengan penempatan residen di Bima, harus dengan persetujuan kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makasar.

Akibat lain dari perjanjian ini ialah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC orang-orang Makasar adalah para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dengan Makassar telah berjalan lama. Pada tahun 1695 telah terjadi pelarian orang-orang makassar dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada tahun 1667. pada tahun 1701 orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai, namun ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu, karena hubungan Bima dengan Makassar idak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dengan putrid bangsawan Gowa.
Pada tahun 1759 sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Tetapi mereka tidak dapat bertahan lama karena pada tahun 1762 dengan bantuan VOC. Bima dapat menguasai kembali daerah manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk manguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada tahun 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil.
Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbaharui Dari VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Terakhir perjanjian yang menurut penyaji merupakan titik puncak Hegemoni Belanda atas kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh sultan Ibrahim pada tanggal 6 februari 1908 yang disebut Contract met Bima. Perjanjian tersebut antara lain berisi:
1. Sultan Bima mengakui kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda. Dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2. Sultan Bima Berjanji senantiasa tidak melakukan kerjasama dengan bangsa kulit putih lain.
3. Apabila Gubernur Jendral Hindia Belanda menghadapi perang. Maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah kesultanan Bima kepada bangsa lain keculai Belanda.
Walaupun pada perkembangan selanjutnya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, namun tetap saja kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Dan hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap, dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan.


http://komplasi.blogspot.com/2009/03/dinamika-politik-kesultanan-bima-abad.html
HUMAS IKAHIMSI Wilayah III Jawa Timur (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar