05/12/11

TAFSIR FITUA TENTANG KUDETA NAGARI BIMA


Peristiwa kudeta berdarah yang dipimpin oleh La Kai sesungguhnya juga menunjukkan adanya benturan keras antara dua misi kebudayaan. Saya tidak ingin meletakkan bahwa La Kai sebagai pihak yang ditindas, lalu menganggap blokSalisi sebagai agressor, karena lama waktu pertikaian itu bukan setahun atau dua tahun, tapi memakan waktu sampai berpuluh-puluh tahun. Saya menyebut itu kudeta itu sebagai benturan keras antara dua kebudayaan dengan alasan; Pertama, Perang saudara ini bukan hanya soal konfrontasi antara La Kai versus Salisi semata, namun keterlibatan pihak-pihak ketiga pun patut untuk diteliti. Pihak ketiga yang saya maksudkan ialah Kerajaan Gowa, Kerajaan Dompo dan juga Belanda (dalam hal ini VOC). Kenapa Kerajaan Gowa terlibat? Nah, seperti kita ketahui; berubahnya statuten Kerajaan Gowa menjadi Kesultanan adalah berkat panduan dari komunitas mubaligh minang yang mendapat misi tersebut dari Kasunanan Giri di Gresik. Pada saat tolak-tarik kekuasaan di internal kebangsawanan Bima, mubalig-mubalig tersebut juga sudah menetap di perkampungan muslim di Bima

Keterlibatan Dompo sebenarnya tidak begitu banyak diceritakan dalam teks-teks sejarah Bima, hanya di dalam Bo’ disebutkan bahwa Nagari Bima pernah menggalang dukungan dengan Dompo untuk menyerang Abdul Kahir yang baru saja menggulingkan blok Salisi. Jadi jelas menurut Bo’, bahwa sampai tahun 1621 ketika Abdul Kahir dikukuhkan sebagai Pemimpin Nagari Bima, situasi di Bima belum sepenuhnya kondusif, dan Salisi belum sepenuhnya kalah, karena eksponen-eksponen Bala Ksatria yang setia kepada Salisi terus menyebar agitasi dari satu pegunungan ke pegunungan yang lain, provokasi ini dijalankan untuk mengkonsolidasi kekuatan agar tahta Nagari Bima bisa diambil kembali, sepertinya itu berhasil, karena Kerajaan Dompo yang merupakan sesama daerah protektorat Majapahit justru bergabung dengan blok Salisi dan menyerang Abdul Kahir. Kemelut inilah yang menyulut amarah Sultan Gowa karena melihat perang tidak seimbang. Demi reputasi pula akhirnya pada tahun 1633, armada kapal Gowa menyerbu Nagari Bima.


Kemelut Nagari Bima memakan waktu sekitar 23 tahun. Lamanya waktu ini kemungkinan terjadi karena dua kutub kebudayaan yang berbenturan itu sama-sama kuatnya. Saya cenderung melihat bahwa Salisi merupakan representasi dari kelompok Hindu sisa Majapahit yang menguasai Bima Nagari, dia adalah generasi terakhirnya. Dan seperti kita ketahui, di penghujung masa jayanya, Majapahit pun dipaksa untuk morat marit ing paregreg akibat perang saudara, dan situasi itu di Jawa dimanfaatkan oleh Wali Songo untuk mengambil alih kekuasaan yang ada. Nah, di Bima sendiri, terjadi kegalauan yang panjang pasca keruntuhan Majapahit, di lingkungan internal para bangsawan Nagari Bima muncul kekisruhan tentang eksistensi kerajaan. Pada akhir abad ke 16, aroma perebutan kekuasaan itu mulai menyeruak, dan Salisi berhasil mendapuk dirinya sebagai raja baru.

Sedangkan La Kai, sebenarnya saya menduga kalau beliau ini tidak memiliki pertalian darah dengan bangsawan-bangsawan kerajaan nagari Bima. Di posting lain saya sudah menulis bahwa La Kai memang terlahir sebagai muslim, karena saya meyakini di pesisir timur Bima ini sudah ada perkampungan muslim yang dirintis oleh beberapa pedagang Arab yang datang dari arah Ternate maupun Tidore. Dan secara intelektual, La Kai memang termasuk kalangan terdidik dan punya transmisi keislaman dengan kasunanan Giri. Di perkampungan muslim awal inilah ide-ide untuk menguasai Nagari Bima sudah mulai diperbincangkan. Nah, ketika Dato’ Ri Bandang, Dato’ Ri Tiro dan Dato’ Pattimang datang, maka momentum tersebut menemukan jalannya, karena mereka memberitakan banyak hal, termasuk banyaknya wilayah di luar yang sudah menyesuaikan diri dengan hukum-hukum Islam, dari merekalah berita tentang keruntuhan Majapahit itu mulai tersiar, sehingga menguatkan keyakinan La Kai untuk memilih jalan revolusi demi mengambil alih Nagari Bima, apalagi para mubalig ini juga menceritakan tentang keberhasilannya membangun Kesultanan Gowa. Ibarat Hot News, wacana tentang perlunya mendirikan sebuah kerajaan Islam menjadi topik hampir seluruh kalangan menengah ke atas di Nusantara. Dan berita-beritanya pun semakin sahih setelah para pedagang lintas pulau dan pelaut Nagari Bima membahasnya di mana-mana. (Karena zaman itu memang belum ada telepon).

Nah, persinggungan dan benturan dua kutub kebudayaan itu mengambil bentuk seperti ini; Salisi mewakili kutub Bima-Hindu-Eks Majapahit, sedangkan La Kai mewakili kutub Bima-Islam-Kesultanan Gowa. Keduanya sama-sama berasal dari Bima, namun berbeda pada pilihan spiritualnya, serta mempunyai patron politik yang berbeda pula. Jika Salisi menggunakan emosi eks Majapahit untuk melegitimasi kekuasaannya secara status quo, dan masih dalam penerapan kebudayaan Jawa lama, maka La Kai menjadikan Kesultanan Gowa sekaligus sebagai bemper untuk memangun imperium barunya. Jadi, dua kutub ini sama-sama legal, meskipun secara struktural Salisi memang berhak menguasai Nagari Bima karena frame politik-spiritualnya sudah menjadi ideologi mutlak masyarakat feodalistik Bima. Sedangkan Abdul Kahir, masih harus berproses untuk menggalang simpati bersama para mubalig Minang tersebut ke seluruh wilayah Bima

Sekarang kita langsung saja masuki imajinasi tentang situasi kemelutnya. Soal perang, pasukan La Kai tentu saja kalah secara kuantitas, apalagi Panandita Bima di kala itu memerintahkan seluruh masyarakat agar mengepung dan menghabisi La Kai dan mubalig-mubalig tersebut. Dalam situasi terjepit dan diburu oleh laskar-laskar Bima, La Kai memilih untuk berpindah-pindah tempat. Berita perang ini kemudian sampai ke telinga Sultan Gowa dari kabar yang dibawa oleh para pedagang Bima. Dengan solidaritas dan semangat Ukhuwwah yang dipegang teguh, maka para mubalig Minang ini meminta sokongan kepada Sultan Gowa untuk turut memback-up La Kai yang sudah dalam keadaan terjepit.

Selama interval waktu yang lama itu La Kai dan Mubalig-mubalig Minang berhasil mendakwahkan Islam di masyarakat pegunungan Kalodu, dan menjadikan kawasan tersebut sebagai camp persembunyiannya bersama beberapa komunitas kecil muslim yang ikut serta. Sampai akhirnya, demi alasan keamanan, komunitas muslim di bawah komando para mubalig Minang ini memutuskan untuk hijrah ke Sulawesi, selama di sana mereka menetap di Istana Sultan Gowa, mendapat tempat dan kehormatan, karena mubalig Minang tersebut adalah guru sekaligus penasehat spiritualnya. Di sisi lain, Pandita Salisi terus menggalang konsolidasi, bahkan sampai meminta dukungan dari Kerajaan Dompo yang merupakan saudara tua Kerajaan Bima karena sesama protektorat Majapahit. Selama beberapa tahun itu pula, situasi Bima menjadi tidak menentu, dan Belanda melihat gelagat ini sebagai sebuah kesempatan untuk melakukan intervensi sempurna. Tahun 1633, di bawah pimpinan langsung Abdul Kahir, Nagari Bima dikepung dari segala arah, 400 armada kapal Gowa merapat ke teluk-teluk. Bagi penduduk yang membangkang dan melawan, rumahnya dibakar, dan terakhir sampai ke pertahanan Kerajaan. Tidak ada yang tersisa, semua simbol spiritual Nagari Bima dan perpustakaan-perpustakaan lama dimusnahkan, termasuk beberapa candi, kecuali beberapa prasasti yang tidak sempat ditemukan oleh pasukan La Kai. Dari kejauhan sana, Belanda bertepuk tangan, menunggu waktu yang tepat untuk bisa menduduki Bima Baru sebagai rute perdagangan VOC. Nagari Bima tamat ! Kebudayaan baru pun lahir !

Sejauh ini, perang antara Salisi versus La Kai masih ditangkap secara turun-temurun sebagai dongeng, ibarat cerita perang kurusetra. Dari nama-nama, alur cerita dan motif-motif perang, semuanya dibukukan hanya dalam satu catatan tertulis, yakni Bo’; yang ditulis dengan huruf arab melayu, dituturkan dalam dialek melayu. Drama peristiwa tidak terurai secara tuntas, baik “sanad” maupun “perawi” nya masih perlu diinterpretasikan kembali. Menciptakan mitos atau dongeng atas sebuah fakta sejarah memang beresiko terhadap keyakinan generasi berikutnya, dan ini benar-benar terjadi, bagaimana kemudian Abdul KahirRumata Ma Bata Wadu hanya populer dengan nama panggilannya saja sebagai La Kai. Saya tetap meyakini, bahwa masih banyak catatan-catatan Belanda tentang peristiwa itu yang sekarang belum terkuak ke permukaan.

Sudah kita maklumi semua, bahwa Belanda ketika memasuki Nusantara pada akhir abad ke 16, sesungguhnya memiliki dua misi ganda; yakni ekspansi politik dan ekonomi. Pilihan strategi Belanda di kala itu hanya satu, yakni memporak porandakan tatanan kultur masyarakat dengan adu domba, diplomat-diplomat Belanda menyusup sampai ke jantung rahasia kerajaan untuk memprovokasi para elite agar saling curiga, sehingga perang saudara bisa terlaksana. Yang pada gilirannya nanti, Belanda pula yang akan menengahinya dalam sebuah pertemuan arbitrase. Apalagi kontak pertama kali antara Belanda dengan Bima tercatat pada tahun 1605 melalui pelaut mereka Stephen Van Hagen. Itulah yang membuat saya berkesimpulan bahwa; Kesultanan Bima berdiri bersamaan dengan periode pembukaan jalur perdagangan VOC di wilayah Bima, sehingga mereka berkepentingan secara diplomatik untuk menempatkan seorang fetorResident, Commanditur, Gezhagebber atau bahkan Controleur di Bima.

Era rintisan Kesultanan Bima tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Gowa. Ibaratnya, dua wilayah ini terpisah secara teritorial namun satu dalam kebudayaannya. Integrasi inilah yang kemudian menciptkan emosi persaudaraan yang kuat antara orang Makassar dengan orang Bima, dan itu berlangsung sampai hari ini. Saya sendiri melihat ada beberapa hal yang menarik untuk dielaborasi tentang bagaimana pola hubungan ini kemudian bermula.

Pertama, pada masa sebelum kesultanan, sebenarnya hubungan antara Gowa dengan Bima tidaklah begitu rekat, hal ini bisa dilihat secara implisit dalam rantai silsilah Raja-Raja Bima. Di sana terlihat penyebutan nama Gowa hampir dikata tidak ada, sedangkan penyebutan Jawa muncul berulang-ulang. Sepertinya rute pelayaran Bima di kala itu tidak begitu dominan ke utara, tetapi lebih banyak ke arah timur dan barat, karena dahulunya wilayah kekuasaan Bima membujur sampai ke pulau Flores dan Timor, daerah-daerah di sana sudah ditaklukkan pada abad 13 M oleh pelaut-pelaut Bima, dan ekspansi ke timur lebih bernuansa ekonomi ketimbang politik, dalam artian bahwa Bima memiliki ketergantungan juga untuk mengambil sebahagian besar rempah-rempah di sana. Pola perdagangan barter di masa itulah yang kemudian memungkinkan banyak bahan mentah diambil dari daerah timur untuk dipasarkan ke kawasan Jawa dan Malaka. Sedangkan keterikatan dengan Gowa, secara tekstual saya melihatnya hanya muncul dalam silsilah Dewa yang melahirkan Sawerigading sebagai cikal bakal raja-raja di Sulawesi. (Lebih jelasnya, silahkan lihat silsilah di Bo’ Sangaji Kai)

Kedua, pada masa Hindu, penerapan sistem kasta di lingkup kerajaan Nagari Bima memang cukup kuat, dan nama-nama para bangsawan kita memang mengadopsi istilah-istilah Hindu. Bukan hanya pengkastaan, tetapi dalam tatanan sosial pun beberapa kosa kata warisan Hindu sudah teradaptasi menjadi bahasa Bima, yang penyebutannya pun mengikuti lidah orang Bima, sperti; Dewa, yang disebut dengan huruf D tipis menjadi ‘dewa, Bolo yang juga diucap dengan B tipis menjadi ‘bolo (berasal dari kata Bolo yang artinya pasukan, Bolodewo artinya pasukan dewa), juga kata-kata nCandi, dan nama kampung seperti Santi, termasuk juga kata Lewi yang berasal dari bahasa Sunda ‘Leuwi’. Nah, kesultanan Bima di bawah kendali Abdul Kahir dan Sirajuddin mengadopsi sistem kesultanan Gowa hampir secara utuh, dan proses ini berlangsung secara sporadis dan berkelindan. Pada saat simbol-simbol dan fundamen Islam mulai ditancapkan, pada saat yang sama pula khazanah kebudayaan Gowa diperkenalkan di Bima. Pada masa ini saya menduga, bahwa Abdul Kahir tidak mempunyai pilihan lain dalam hal sistem yang dipilih bagi imperium barunya, selain mencangkok sistem Gowa yang sudah lebih mapan, dan dia sendiri adalah bahagian tak terpisah dari kesultanan Gowa.

Ketiga, penghapusan sistem kasta dan peruntuhan seluruh simbol Hindu di Bima memaksa Abdul Kahir untuk mempersiapkan sebuah perangkat baru yang sesuai dengan ideologi yang dia anut. Sebagai seorang perwira muda yang dididik dalam kultur perkampungan muslim, La Kai juga memiliki sugesti kuat dengan menyandang trah kebangsawanan Bilmana yang mengalir dalam dirinya. Dia terlahir dari ayah yang hebat, “Mantau Asi Sawo”, seorang Pemimpin lokal keturunan Bilmana, yang saya duga adalah seorang Muslim. Di waktu yang sama, La Kai juga di back-up secara total oleh hampir separuh kekuatan armada perang Gowa. La Kai melihat bahwa, kebudayaan yang dianut dan dikembangkan oleh penguasa di bawah pimpinan Salisi itu bertentangan dengan teologi yang ada di hatinya, karena itulah La Kai dan para mubalig merasa perlu untuk meruntuhkan hegemoni eks Majapahit maupun Kediri yang saat itu jadi primadona Nagari Bima. Karena itulah, tindakan dekonstruksi yang dilakukan oleh Abdul Kahir Ma Bata Wadu sejatinya dilakukan secara radikal, mencabut kerangka kepercayaan Syiwaistis sampai ke akar-akarnya, dan menanamkan bibit-bibit pemerintahan Islam ala Gowa. Meskipun demikian, Abdul Kahir tidak sepenuhnya bisa melakukan itu secara cepat, karena secara geografis, imperium Bima baru yang dia bangun adalah sebuah pegunungan dengan belantara yang luas. Abdul Kahir tidak seutuhnya mengenal dan menguasai wilayah ini, dia hanyalah bertindak dan bergerak di poros kekuasaan, sedangkan penduduk-penduduk Nagari Bima yang lain masih terbiasa dan nyaman dengan kepercayaan pagan yang mereka anut selama ini

Keempat, Radikalisasi yang dilakukan Abdul Kahir dan para mubalig minang tersebut terlihat nyata dalam pergantian frame kebudayaan. Misalnya; penggunaan extention-extention Gowa dalam trah kebangsawanan kita seperti Daeng, Teta dan Puang yang semuanya diambil dari sana. Abdul Kahir sendiri, karena dibesarkan di lingkungan kerajaan Gowa, dan menjadi bangsawan penting di sana, tentu saja akhirnya dipanggil dengan sebutan Daeng (extentionlama untuk Raja-raja Gowa). Sedangkan jejak para mubalig Minang terlihat dalam panggilan seperti Ince dan Tati. Radikalisasi ini juga masuk sampai ke ranah kesenian, coba imajinasikan, apakah masyarakat Bima sebelum Islam mengenal tari-tarian (?). Mungkin saja ada, tetapi seni tari lenggo yang ada sekarang ini merupakan murni kebudayaan Melayu.

Kelima, radikalisasi ini sekaligus menjadi era baru bagi pola hubungan antar wilayah bagi kerajaan Bima. Sebelum menjadi kesultanan, sasaran komunikasi diplomatik nagari Bima sangat berorientasi ke Jawa sebagai pusat peradaban Hindu, dan hal tersebut meliputi hampir semua ranah, dari sosial kebangsawanan, politik pemerintahan sampai sektor ekonomi perdagangan. Sejak saat itulah, pola perkawinan silang dengan Gowa dimulai, termasuk dalam hal pendidikan pun, Gowa menjadi daerah patronase yang direkomendasikan oleh Sultan untuk anak-anak para bangsawan, dan itu terus berlangsung sampai sekarang, di mana Makassar menjadi salah satu pilihan alternatif untuk sekolah lanjutan ke perguruan tinggi.

Menjadi jelaslah kemudian, bahwa kemelut yang terjadi di Nagari Bima pada awal abad ke 17 M adalah sebuah bentuk Revolusi yang hebat. Dan revolusi inilah yang kemudian menjadi pintu masuk bagi bersemainya Islam di nagari Bima. Apa yang diprakarsai oleh Abdul Kahir “La Kai” Ma Bata Wadu sesungguhnya tidak hanya dalam perkara perang dalam arti konfrontasi fisik semata. Tetapi harus dilihat dengan proporsional, bahwa Abdul Kahir adalah pionir yang berinisiatif tinggi untuk menularkan spirit perubahan di nagari Bima. Dalam kurun waktu dua puluh tahun itu, telah tumbuh subur persemaian ide dan gagasan, bahkan saya menyebut La Kai telah didatangi oleh ilham Tuhan, ilham untuk merintis pekerjaan besar. La Kai melakukannya dengan hampir sempurna, dan meretas sebuah gerakan Revolusi Spiritual, Revolusi Kebudayaan, Revolusi Sosial dan Revolusi Politik secara serentak. Sebelum tutup, saya ajak anda untuk melayangkan Al Fatihah kepada tokoh besar kita Abdul Kahir La Kai Ma Bata Wadu. Semoga arwahnya ditempatkan bersama para pejuang dan termasuk orang-orang jujur di hadirat Allah. 

sumber; http://fitua.blogspot.com

2 komentar:

  1. Sebaiknya sejarah Bima itu dibukukan, agar generasi muda lebih mengenal sejarahnya

    BalasHapus
  2. Semoga sejarah bima sdh dipelajari di sekolah sekolah terutama di bima

    BalasHapus