17/11/11

Sigi Nae Dena, Situs Sejarah Mbojo yang Terbengkalai



BERBICARA tentang sejarah mbojo, sigi na’e Dena masuk dalam situs sejarah mbojo. Sama halnya dengan sigi Sultan Salahuddin.

Kenapa seperti itu? Sejak kolonialisme Belanda menancapkan imperialismenya di Indonesia termasuk mbojo, sigi na’e Dena adalah bukti sejarah. Sigi na’e menjadi saksi hidup perjuangan para mujahidin Dena seperti ompu anco dalam mengusir penjajah.

Sigi Dena, selain tempat ibadah, juga menjadi markas perjuangan. Di masjid inilah strategi disusun ketika Belanda datang ke Dena.


Selain itu, Dena merupakan trandseter perjuangan. Sejarah mencatat, perang mbojo saat mengusir penjajah adalah perang Dena, perang Ngali dan perang Rasanggaro.

Di wilayah kecematan Madapangga, Dena adalah pusat segalanya. Dari sisi pendidikan maupun urusan agama. Yang ada hanyalah sigi na’e Dena dan lebe na’e Dena. Sementara desa lain seperti sigi monggo, sigi tonda, cepe lebe tonda dan atau cepe lebe monggo.

Hanya saja, nostalgia sejarah itu hanya sebuah kenangan. Mungkin juga hanya pelengkap sejarah mbojo atau Dena. Tetapi, situs sejarah ini hanya menjadi angin lalu. Bandingkan kondisi sigi na’e Dena dengan sigi monggo atau pun sigi mpuri. Secara kualitas tampilan, sangat jauh berbeda. Sigi na’e Dena jauh tertinggal.

Bertahun-tahun terbengkalai dalam kondisi yang tidak menentu. Berganti-ganti rancangan bangunannya tapi tidak kunjung selesai, hingga kini. Inikah penghormatan terhadap sejarah?

Sungguh luar biasa berdosanya kita pada sejarah, setidaknya para pendiri sigi ini. Atau setidaknya para mujahid yang memanfaatkan sigi na’e Dena sebagai tempar berdakwah dan berjuang fiisabilill haq.

”Tahopu sambea di uma daripada sambea ari sigi” celetuk seorang warga yang enggan namanya diekspos. Tentu, masyarakat akan risih jika harus sholat di tempat yang masih berantakan dan cenderung terlihat kumuh dan kotor.

Imbasnya, semakin malas generasi muda dalam meramaikan sigi. Itu terjadi, hampir tidak ada aktivitas lain di sigi na’e Dena selain untuk ibada sholat wajib.

Walau kita harus mengakui, di bawah kepemimpinan Dae Ferry sebagai bupati Bima, kondisinya sudah mulai berubah. Perbaikan sudah nampak serius dikerjakan. Cukuplah kita melupakan sejarah perang Dena. Jangan sampai kita ‘menghancurkan’ situs bersejarah yang menjadi saksi hidup sejarah Dena dan mbojo ini. (gus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar