26/10/11

Pariwisata NTB; Penjual yang Tidak Jujur!

Mengajak wisatawan datang untuk menikmati potensi wisata daerah ini tidak bisa hanya dengan memakai  pendekatan pasar, yakni menjual an sich. Cara “lain” yang paling ampuh adalah dengan mengolah kekayaan wisata secara internal, memperbaikinya secara terus menerus.

Siapapun harus jujur mengatakan bahwa NTB adalah destinasi wisata yang bisa disejajarkan dengan daerah-daerah lain yang sudah lebih dulu mendunia. Eksotisme alam, kekayaan budaya, serta masyarakatnya yang ramah, membuat NTB begitu  menantang untuk disinggahi.  Angka kunjungan wisatawan mancanegara terus merangkak naik, dari 200.170 pada tahun 2007, 213.925 pada 2008, 232.525 pada 2009 dan 282.161 pada 2010. Untuk wisatawan domestik, lonjakannya justru lebih tinggi. Pada 2007, angka kunjungan wisatawan domestik atau nusantara mencapai 257.202. Ini naik menjadi 330.575 pada 2008. Pada 2009, naik menjadi 386.854 dan 443.227 pada 2010 lalu. Tahun 2011 ini, angka kunjungan diperkirakan meningkat lebih tinggi lagi. Wilayah penyumbang kedatangan mereka tersebar mulai dari ujung barat pulau Lombok hingga ujung timur pulau Sumbawa. Pariwisata menjadi icon NTB setelah pertanian dan pertambangan.

Angka-angka positif diatas setidaknya didukung oleh gencarnya promosi hingga penyelenggaraan berbagai event. Setiap kabupaten menyelenggarakan event tahunan yang dikemas dengan bagus. Lombok Barat memiliki Festival Senggigi (FS), Lombok Utara menyuguhkan Lebaran Adat Bayan, Lombok Tengah ada Bau Nyale, Lombok Timur ada Festival Bunga, Dompu menyajikan Festifal Lakey, dan seterusnya.

Penjual yang tidak jujur

Pariwisata tidak ada apa-apanya jika tidak didukung dengan promosi yang gencar, dan pemerintah Provinsi memperhatikan hal ini. Tahun ini saja, jumlah dana promosi mencapai Rp 7,5 Milyar, menanjak drastis dari anggaran tahun sebelumnya yang hanya Rp 1,5 Milyar. Dana inilah yang dipakai untuk kegiatan apa saja yang ada kaitannya upaya mempromosikan daerah baik regional, nasional hingga luar negeri.

Selanjutnya, semua harus menyadari betapa selama ini kita telah menjadi penjual yang tidak jujur. Para pembeli tidak mendapatkan barang yang sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Semua pelaku pariwisata sepertinya tersandera dengan pemahaman pasar kebanyakan; menjual dengan gencar dan menutupi kekurangan sebisa mungkin. Yang terpenting adalah mengajak mereka datang, perkara mereka tidak mendapatka apa yang mereka cari tidak urus! Ini adalah penipuan. Dan karena pariwisata adalah bisnis image, bentuk keberatan wisatawan tentu bukan dengan melapor ke penegak hukum. Keberatan mereka merasuk ke memori otak, disampaikan dari mulut ke mulut. Membangun image membutuhkan waktu yang panjangm sepanjang memulihkan image yang rusak.

Perhatikanlah wajah Senggigi, kawasan yang –katanya- destinasi wisata dunia itu. Wisatawan yang baru pertama kali datang ke Lombok langsung menyaksikan pemandangan kumuh dan tak teratur. Pemerintah daerahnya terkesan tidak bisa menertibkan lapak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang jumlahnya cuma puluhan dan memenuhi bahu jalan pinggir pantai. Beberapa kali penertiban, setiap itu pula menjamurnya lapak kumuh. Pemerintah daerah seakan tidak sempat membuat semacam zonasi untuk menampung membina mereka agar tidak mengganggu keindahan kawasan. Ditambah dengan tidak maksimalnya penerangan jalan dan masalah sampah, Senggigi sudah harus ditata cepat. Belajarlah dari kawasan Kuta Bali yang bertindak secepat kilat setelah sebuah majalah besar memberitakan tentang sampah pantai setempat. Masalah lain yang membutuhkan penanganan segera sangatlah banyak. Ada pemandu-pemandu yang kurang faham akan sejarah sejarah Taman Narmada, ada praktik penggundulan kawasan hutan wisata Suranadi, ada peningkatan kasus kriminal terhadap wisatawan di Lombok Tengah dan lain-lain.

Ketidakjujuran dalam berdagang juga terlihat dari sikap setengah hatinya pemerintah daerah mengembangankan dan memilihara unsur budaya yang selama ini menjadi jualan utama. Mari merenungkan masa depan wayang sasak yang sangat digemakan sebagai produk budaya lokal unik. Para dalang yang masih hidup mengeluhkan tidak adanya perhatian soal regenerasi dalang. Cobalah pula menyimak kisah sedih para pepadu peresean yang nyaris tanpa pembinaan. Padahal olahraga tradisional ini diplot sebagai bahan utama promosi wisata. Pemerintah daerah, pada batas kewenangan yang dimilikinya, tidak juga mau mengintervensi kurikulum muatan lokal yang mutlak dikuatkan oleh semua sekolah.

Mulailah dari sekarang

Bali berfikir mati-matian soal bagaimana mempertahankan pariwisatanya ditengah kompetisi tingkat tinggi dengan destinasi-destinasi dunia yang lain. Mereka sadar bahwa pariwisata sangat erat kaitannya dengan rasa pengunjung. Tidak ada istilah wisatawan fanatik. Semua mereka membutuhkan kreasi dan kenyamanan “baru”.

NTB tidak boleh mempertahankan cara berdagang yang menipu terlalu lama. Semua harus berkomitmen membani, jika tidak ingin periuk nasi ini hancur seiring waktu berjalan. Salam..



*pulunk86
(sumber :FB :  Rasinah Abdul Igit membuat dokumen.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar