28/06/11

Sigi ‘Kamina’, Mesjid Tertua Di Dana Mbojo

#saveBima.online - (86) Lokasi masjid ini terletak di dataran tinggi yang di kelilingi oleh pegunungan yang berhutan lebat dan terpencil dari Dusun dan Desa lain. Nama dusun ini adalah Kalodu atau yang dikenal juga dengan Kamina. Pada masa sekarang Dusun Kalodu telah menjadi desa Kalodu yang merupakan wilayah kecamatan Langgudu dan berjarak lebih kurang 75 Km di sebelah selatan Kota Bima.

Masjid kuno ini oleh masyarakat Mbojo (Bima) diberi nama “ Sigi Kalodu atau Sigi Kamina” (Sigi berarti Masjid). Didirkan sekitar tahun 1621 M. Oleh jena Teke La Kai ( setelah memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir ), bersama beberapa Mubalig dari Sulawesi Selatan ( Goa, Tallo, Luwu dan Bone ) dan para pengikut Jena Teke Abdul Kahir ( Jena Teke berarti Putera Mahkota ). Sigi Kalodu merupakan masjid kuno tertua di Bima setelah Masjid kuno Kampo NaE ( Kampung NaE ) kecamatan Sape. Masjid ini juga didirikan oleh para mubalig dari Gowa, Tallo, Luwu dan Bone, beberapa tahun sebelum Masjid Kalodu di bangun.
Sebelum masjid Kalodu di bangun, Dusun Kalodu merupakan tempat persembunyian Jena Teke La Kai bersama pengikutnya, yang terpaksa meninggalkan Istana karena mau dibunuh oleh pamanya yang bernama Salisi. Dengan bantuan Belanda Salisi berambisi mengambil alih kekuasaan, walau tidak di setujui oleh Lembaga Hadat Dana Mbojo ( Lembaga Pemerintahan Kerajaan ).

Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Kai bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Karena itu raja-raja Sulawesi Selatan di Sape, maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621) Jena Teke La Kai bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I juga bernama Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingin oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembaliu menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.

Karena bangunan kuno tersebut sudah lama tiada, di telan zaman maka sulit untuk diketahui dengan pasti bagaimana sesungguhnya ( Arsitektur ) Masjid Kalodu menurut Bo ASI (Bo Istana) yaitu catatan kuno peninggalan Kesultanan Bima, bentuk Masjid Kalodu di gambarkan sebagai berikut:
1. Bangunan masjid berbentuk segi empat sama sisi ( bujur sangkar ) dan tidak memiliki migrab seperti lazimnya sebuah Masjid pada masa berikutnya. Empat sisi yang sama itu merupakan simbol empat orang putera dan keluarga Raja yang memeluk Agama Islam yaitu La kai ( Abdul Kahir ), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin ), La Mbilla ( Jalaluddin ) dan Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese ( Sirajuddin ). Selain itu empat buah sisi bangunan merupakan simbol daerah asal para gurunya yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
2. Tiang bangunan masjid ada delapan, yang berbentuk Nggusu Waru (segi delapan) merupakan simbol dari empat orang putera dan keluarga Istana dan empat daerah asal para ulama yang menjadi Guru mereka yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
3. Tidak dijelaskan luas bangunan induk dari bangunan masjid tersebut. Mungkin bisa diketahui dari luas bekas bangunan yang sampai sekarang masih dapat di saksikan. Luas bangunan Masjid + 2 Are, belum terhitung luas tempat tinggalnya Jena Teke (Abdul Kahir) bersama pengikut dan anggota masyarakat yang datang untuk belajar agama Islam.
Dalam Bo’ Istana tidak dijelaskan jenis bahan bangunan Masjid, tetapi besar dugaan bahwa bangunan itu dibuat dari kayu, karena kayu marupakan bahan utama dari semua jenis bangunan mereka termasuk rumah tempat tinggal. Dugaan itu semakin kuat, mengingat Dusun Kalodu berada di tengah hutan belantara, yang banyak menyediakan berbagai jenis kayu untuk bahan bangunan.
Atap masjid, mungkin dibuat dari “ Ati “ atau “Kandolo” (jenis ilalang) yang banyak tumbuh di daerah dataran tinggi, yang sampai sekarang menjadi bahan atap rumah masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu)
Kemungkinan lain atap Masjid dibuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran panjang sekitar 30 cm yang oleh masyarakat disebut “Sira” (sirap) yaitu atapnya dibuat dari kayu yang dibelah dengan ketebalan 1 cm dan dipotong berukuran kurang lebih 30 cm karena bahan bangunan dibuat dari kayu maka tidaklah mengherankan apabila bangunan masjid Kuno di kalodu, tidak akan bertahan lama, namun demikian membangun kembali masjid kuno itu walau dalam bentuk replica menjadi suatu keharusan agar generasi muda mengetahui betapa banyaknya suka duka yang dialami oleh Abdul Kahir bersama pengikutnya dalam menegakkan kejayaan Islam di Dana Mbojo (Bima).
Seandainya Masjid Kalodu yang berada di tengah hutan belantara itu tidak ada, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya para Juru Dakwah dan Mubalig datang menyiarkan Agama Islam di Dusun dan Desa yang berada di Kaki gunung terpencil itu dengan kata lain sesungguhnya Masjid Kalodu memiliki keistimewaan yang jarang ditemukan di daerah lain karena di daerah lain semua masjid tertua pada umumnya berada di daerah pesisir bukan di daerah padalaman apalagi daerah perbukitan seperti Dusun Kalodu, sehingga di daerah-daerah tersebut sulit mengislamkan masyarakat pedalaman.

follow me @saveBima

(Sumber : Sejarah Bima Dana Mbojo, H. Abdullah Tayib, BA yang disadur oleh www.alanmalingi.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar