05/12/11

MUNGKINKAH MBOJO ITU MEMANG NAMA ASLI TANPA KONTAMINASI


Dari beberapa referensi sejarah yang saya baca tentang asal-usul nama Mbojo, hampir semuanya sepakat menyebut bahwa kata Mbojo berasal dari istilahBuju, atau Kabuju, yang kemudian menjadi kata sifat Ma Mbuju. Kata Buju sendiri dalam bahasa Bima berarti “Gundukan Tanah”, para sejarawan menyimpulkan bahwa Mbojo adalah penegasan terhadap bentuk geografis Bima yang berbukit-bukit. Pendapat lainnya yang tidak kalah populer ialah, istilahMbojo berasal dari bahasa bahasa Jawa, “Bojo”. Bojo artinya kekasih,suami atau istri. Kesimpulan ini memiliki dasar ilmiah yang cukup kuat, karena berdasarkan sejarahnya, Raja Sang Bima dahulu mempersunting istri dari kawasan ini, saat dia kembali ke Jawa, dia menyebut wilayah ini sebagai negerimBojoku (tempat asal isteri saya). Kemudian dia memanggil istrinya dengan sebutan mBojo, yang terdengar ke telinga rakyatnya lalu disebutlah wilayah ini dengan sebutan raja mereka.

Kalau saya punya versi lain. Saya menduga, istilah Mbojo itu sudah ada sejak zaman baheula, nama ini muncul seiring dengan kelahiran bahasanya. Dan saya meyakini istilah Mbojo memiliki arti tersendiri yang tidak terkait dengan bentuk geografis maupun legenda-legenda sejarah. Kata Mbojo berasal dari dua huruf, yakni huruf MBO dan huruf JO. Aksara Bima tentu saja berbeda dengan aksara latin yang ada, sepintas kita melihat kata Mbojo adalah lima huruf, padahal boleh jadi dalam tata bahasa Bima kuno, itu hanyalah dua huruf. Ambillah contoh aksara Jawa kuno (kawi) yang dipopulerkan oleh Jayabaya sebagai gugusan kata yang bermakna Ho No Co Ro Ko No To No Go Ro Do To So Wo Lo Po Do Jo Yo No. Nah, kata Mbojo pun saya duga seperti itu, karena memang zaman dulu dalam sebuah huruf justru terkandung sebuah makna simbolik secara umum.

Sekarang coba perhatikan kata-kata dalam bahasa Bima berawalan MBO beserta terjemahan bebasnya yang saya urut berikut ini :

Pecahan Huruf
Mbojo
Indonesia
m Bo Cu
Mbocu
Kenyang
m Bo Lo
Mbolo
Bundar
m Bo Ko
Mboko
Cekung
m Bo To
Mboto
Banyak
m Bo Wo
Mbowo
Gonggong
m Bo Tu
Mbotu
Terbang
m Bo Ra
Mbora
Hilang
m Bo U
Mbou
Tersohor
m Bo Ho
Mboho
Tumpah
m Bo Le
Mbole
Benjol
m Bo Nci
Mbonci
Tumbuh
m Bo Nga
Mbonga
Gila
m Bo Nggi
Mbonggi
Mandul
m Bo Nto
Mbonto
Cabut

Seandainya saya tambahkan di akhir deretan kata tadi seperti ini :

m Bo Jo     =     ?????

(Apa yang tergambar dalam pikiran anda sekarang)

Istilah Mbojo mempersatukan penduduk dataran ini dalam kesatuan teritorial (Dana Mbojo), komunitas (Dou Mbojo), bahasa tutur (Nggahi Mbojo), Karakter(Tabe’a Mbojo) dan pemerintahan (Sangaji Mbojo). Tetapi ada fakta unik yang kadang di luar dari kesadaran kita sehari-hari bahwa penyebutan kata Mbojosecara teritorial dalam tataran domestik kita sendiri cenderung menyempit dan terpusat. Coba simak dialog keseharian kita, bagi warga Raba yang berada sebelah timur gunung dua (tepatnya perbatasan jalan gatot subroto), jika hendak ke pasar Bima selalu mengatakan “Nee lao di Mbojo”, tapi warga yang berada di wilayah sebelah barat gunung dua, tidak akan menyebut demikian. Ini pun berlaku bagi masyarakat Bima Selatan (Dou Ta Dei), Bima Barat (Dou Ipa), Bima Tenggara (Ese Wera) dan Bima Timur (Dou Mai Ese Mai). Kalimat-kalimatnya akan seperti ini :

  • Nahu nee lao ari Mbojo (ini pengucapan masyarakat yang bermukim dari wilayah perbatasan Uma Mee/Bandara sampai ke Langgudu) 
  •  Nahu nee lao awa Mbojo (ini versi masyarakat Wawo, Wera dan Sape) 
  •  Nahu nee lao ipa Mbojo (ini versi masyarakat Bolo dan Donggo)
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka kalimat-kalimat itu akan terdengar rancu, misalnya “Nahu nee lao ari Mbojo” akan berarti “Saya mau keluar ke Bima”.

Tanpa kita sadari ternyata pada ranah tempat secara sektoral, Mbojo yang kita maksud itu hanya berlaku bagi pada kawasan Pasar dan Pusat Pemerintahan kerajaan saja. Tetapi tatkala masyarakat Bima ini berada di luar wilayahnya sendiri, kata “Mbojo” dijadikan sebagai sebutan perekat secara integral sebagai sebuah komunitas, dan masyarakat Dompu pun kadang-kadang juga turut merasakan pengaruh kekuatan komunitas ini.

Ada beberapa sebab yang menginspirasi saya berkesimpulan seperti ini : 
  1. Bahasa Bima termasuk bahasa tertua dalam rumpun bahasa-bahasa di Nusantara, meski penuturnya sedikit, akan tetapi bahasa ini ditunjang juga oleh keberadaan aksaranya, sehingga bisa dikatakan bahwa pada abad 13 M sebelum didaulati Majapahit, wilayah ini sudah memiliki peradaban sendiri yang sudah cukup diperhitungkan, karena sudah maju dalam hal baca-tulis. Mungkin saja, lembaran-lembaran kuno tentang negeri ini sudah punah atau dimusnahkan setelah Bima berubah bentuk menjadi Kesultanan pada tahun 1611 M. 
  2. Istilah Mbojo dalam pandangan saya adalah sebuah kata yang tersusun dari dua huruf seperti tadi, dia bermakna sama halnya dengan kata-kata berawalan Mbo lainnya, dan saya meyakini bahwa setiap kata dalam bahasa Bima yang berawalan Mbo tidak menunjukkan sifat atau bentuk suatu Tempat, tetapi cenderung bermakna akibat atau keterangan dari sebuah tindakan. 
  3. Saya menjumpai nama kampung atau tempat-tempat pemukiman tua di wilayah Bima justru berawalan NTO, sejauh ini yang tersisa secara administratif sebagai sebuah desa atau wilayah ada empat, yakni Nto ‘bo, Nto ke, Nto ri dan Nto nggu. Secara linguistik sepertinya sama dengan kata-kata berawalan MBO tadi. 
  4. Bagi masyarakat Bima, penamaan sebuah wilayah selalu disertai dengan bumbu-bumbu legenda yang menyertainya, dan itu berkembang secara verbal sebagai cerita rakyat. Dalam keseharian kita, asal-usul nama Mbojo justru tidak terdengar sebagai riwayat tuturan lisan dari generasi ke generasi. Buku BO’ sebagai salah satu referensi sejarah Bima, tidak menguraikan asal-usul penamaan ini. Karena BO’ yang sampai ke tangan kita hari ini hanyalah BO catatan silsilah, laporan perjalanan para Sultan (sebahagian berdasarkan catatan Belanda), Cerita Asal Usul Bangsa Jin dan Dewa-Dewa serta Syair Kerajaan Bima. Atau boleh jadi, dulunya terdapat BO’ yang menguraikan asal-usul tanah negeri ini bermula, yang kemudian hilang ataukah pula terbakar. 
  5. Mbojo adalah sebuah sebutan atau julukan yang sejak awal sudah disepakati oleh beberapa Pandita (kaum terpelajar) dan kelompok-kelompok penguasa lama, jauh sebelum Mbojo dikemas menjadi sebuah Kerajaan Hindu oleh Majapahit.

Catatan ini meski tidak berdiri dalam bangunan dan kerangka ilmiah namun setidaknya dapat dijadikan secuil acuan untuk kita berkhayal ke masa lalu. Semoga bermanfaat bagi para budayawan, sejarawan maupun para peneliti bahasa. (86)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar