ilustrasi |
Sepertinya para sejarawan sepakat bahwa sampai penghujung abad ke XVI M, Negeri Bima adalah sebuah kerajaan monarki Hindu yang maju di wilayah timur Nusantara. Saya pun menyepakati itu, namun ada beberapa hal kejanggalan yang saya temukan dalam uraian beberapa kalimat naskah resmi Bo’ Sangaji Kai yang mengindikasikan adanya sebuah dinasti kepemimpinan Islam di Bima pada abad ke XVI M. Sebuah rentang waktu yang berselisih seabad dengan kepemimpinan Sultan Abdul Kahir Rumata Mabata Wadu di tahun 1621 M.
Seperti yang saya uraikan tentang kehadiran dan keberadaan Sayyid Ali Murtadho sebagai salah satu Raden Pandhita Bima pada sekitar tahun 1450 M, maka generasi langsung dan sebagian bangsawan Bima sudah menjadi pemeluk agama Islam, meskipun secara kontekstual, Islam yang mereka jalankan tidaklah seperti syariat hari ini yang ditegakkan secara terpadu. Namun sebahagian besar doktrin dan nilai moralitas Islami sudah tertanam dalam pemahaman sebahagian kecil pengikut dan keturunan Sayyid Ali Murtadho.
Pemahaman Islam para bangsawan ini kemudian terus meningkat seiring dengan terbukanya kontak kerajaan Bima dengan kesultanan Pattani di masa itu. Bahkan dalam sebuah catatan resmi silsilah Pattani digambarkan dengan jelas, bahwa Raja ke empat Pattani yakni Sultan Mansyur Syah mempunyai dua orang anak, satunya yakni Bahadur Syah, dan yang satunya lagi Raja Bima (dari perkawinannya dengan gundik). Mungkin saja, salah satu pemimpin Bima di masa itu adalah berasal dari keturunan Pattani muslim.
Siapakah Raja Bima muslim itu ?
Pertanyaan ini terkesan provokatif, karena sepintas muncul sebagai sebuah anomali atas teks sejarah. Tetapi jangan langsung menilai bahwa saya merekayasa hal ini berlebihan, sebab saya memiliki landasan tekstual juga untuk kita kupas bersama.
Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang disebutkan. Hal ini saya jumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana. Saya yakin bahwa pada masa sebelum Abdul Kahir I, kerajaan Bima pernah dipimpin secara sepihak oleh seorang Raja Muslim, yakni Sayyid Ali Murtadho sendiri. Sepertinya nama beliau tidak terrekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para walisongo. (Baca juga : ALI MURTADHO, PANGERAN MAJAPAHIT DI NEGERI BIMA)
Jika kita membaca lebih serius silsilah Raja-Raja Bima di halaman mula Bo’ Sangaji Kai, maka kita akan menemukan nama Bilmana. Ini mengisyaratkan maksud dari para penulis silsilah lama itu bahwa pengaruh Arab telah terbangun secara biologis dan emosional dalam kerajaan Bima. Ada beberapa Raja yang dinisbatkan dengan istilah “diperanakkan di Majapahit” atau “yang pergi ke Majapahit”. Istilah ini menjadi pembuka tabir keberadaan Sayyid Ali Murtadho dalam silsilah Raja Bima. Saya mengutip keturunan ke 16 sesudah Indera Zamrut yang menyatakan; “LAKI-LAKI, Inilah dewa yang naik kerajaan dalam tanah Bima digelarkan Nggampo Jawa, tiada beranak, tempatnya duduk dalam Bata Baharu yang diperbuat orang Majapahit tukangnya Ajar Panuli”.
Itu artinya adalah, ada seorang Raja Bima yang langsung berasal dari Jawa dan tiada beranak, yang didudukkan di atas singgasana baru. Ini cocok dengan sejarah kehadiran Sayyid Ali Murtadho ke Bima yang merupakan utusan resmi dari Prabu Brawijaya, dan beliau dikukuhkan sebagai seorang Pangeran Majapahit pula. Kehadirannya ke Bima tidaklah sendiri, tetapi lazimnya perjalanan kerabat Majapahit, maka beliau dikawal oleh serombongan pasukan dan orang-orang terpercaya demi menjaga keselamatannya. Apalagi Sayyid Ali Murtadho adalah keturunan Samarqand yang lahir di Campa, tentu saja tidak akan mengerti dengan bahasa Bima, atau belum terlalu fasih berbahasa Jawa.
Selanjutnya, dalam Bo disebut bahwa singgasana baru tersebut dibuat oleh tukang dari Majapahit bernama Ajar Panuli (Saya menduga nama ini muncul kemudian, karena Ajar Panuli itu bahasa Melayu yang artinya pengajar dan penulis). Tukang ini kemungkinan anggota rombongan, atau boleh juga orang Majapahit yang sudah ditugaskan di Bima. Dalam urutan silsilah selanjutnya disebutkan bahwa “Bini Nggampo Jawa inilah yang menentukan dan mendirikan segala jeneli, tureli dan bumi, dan Jena, dan nentirasa dan patarasa.”
Tetapi yang saya maksud dengan Sayyid Ali Murtadho bukanlah Nggampo Jawa. Nggampo Jawa hanyalah sub silsilah yang mencoba menghubungkan Raja-Raja Bima dengan Majapahit secara genetik. Tetapi sosok misterius itu adalah Rumata Mawa’a Bilmana, yang disebut-sebut sebagai salah satu putera dari Mawa’a Inda Mbojo.
Untuk diketahui oleh kita, selisih antara Bilmana dengan Abdul Kahir Mabata Wadu adalah 12 generasi. Jika selisih antar generasi kita rata-ratakan 20 tahun, maka rentang waktu kelahiran Abdul Kahir Mabata Wadu dengan Bilmana adalah ±240 tahun. Ini akan cocok dengan waktu kehadiran Sayyid Ali Murtadho ke Bima pada sekitar tahun 1440, dengan kepemimpinan Abdul Kahir yang berakhir pada tahun 1640 M.
Petunjuk lainnya ialah lewat istilah. Bilmana sesungguhnya adalah bahasa Arab dari akar kata ‘Bil Ma’na’, yang artinya sarat dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dari petunjuk ini dapat dipercayai bahwa Bilmana adalah seorang pemimpin Bima yang bukan berasal dari Bima sendiri, melainkan seorang keturunan Arab yang diutus untuk membangun kerajaan ini. Apalagi kita semua tahu, bahwa Bilmana adalah Raja Bima yang meletakkan tonggak penting dalam tata pergaulan kerajaan, dengan mewariskan sebuah sumpah yang sangat filosofis, yang hari ini tetap kita gunakan sebagai motto-motto kepemimpinan “Tohora Nahu surampa dou malabo Dana”. Sumpah Bilmana, jika diselami secara mendalam sesungguhnya bermuatan nilai tasawwuf yang sangat tinggi, dan sumpah ini mustahil dibuat oleh orang biasa, namun dibuat oleh orang-orang yang terpelajar dalam sistem kepemimpinan Islam. (Baca juga : KOK ADA NAMA-NAMA ISLAMI SEBELUM MASA KESULTANAN)
Dalam rantai silsilah kelima dari generasi Mawa’a Bilmana, kita akan menemukan lagi nama Islam. Di naskah Bo’ disebutkan,“Inilah cucu daripada anak laki-laki Dewa yang duduk di Karumbu, naik kerajaan di Tanah Bima digelarkan Mantau La Sadina, ia jua Rumata Mawa’a Bila[nga]”. Ini akan cocok dengan silsilah Bilmana di atasnya. Kata La Sadina adalah bahasa Arab yang diambil dari sebutan Sayyidina, dan itu jelas dinisbatkan kepada keturunan Sayyidina Ali Murtadho.
Dalam sejarah Bima, Rumata Mawa’a Bilmana dikenal dengan cerita khasnya sebagai seorang Raja yang adil dan bijaksana. Karena tidak puas dengan keadaan rakyatnya, dan dia tidak senang dipuja-puja secara berlebihan, maka dia pun rela untuk turun dari tahtanya, lalu memerintahkan adiknya Manggampo Donggo untuk duduk manis sebagai Raja, sedangkan dia sendiri memilih untuk menjadi pejabat setingkat perdana menteri. Sesudah itu, tidak ada catatan resmi tentang keberadaannya.
Menurut cerita Jawa, setelah menyelesaikan misinya di Lombok, Sumbawa dan Bima, Sayyid Ali Murtadho kembali ke Gresik dan bergabung dengan beberapa Wali yang lain. Beliau tetap diterima sebagai seorang bangsawan terkemuka di sana. Bahkan mendapat gelar Raden Santri Raja Pandita Wunut, mangkat dan dimakamkan di Gresik Jawa Timur.
Jelaslah menurut saya kemudian, bahwa Raja Bima yang muslim itu adalah Rumata Mawa’a Bilma’na, sebagai julukan bagiSayyid Ali Murtadho, seorang wali, kakak kandung dari Sunan Ampel Raden Rahmat, putera dari Maulana Malik Ibrahim keturunan Syekh Jamaluddin Jumadil Qubro dari Bukhara.
Wallaahu A’lam bisshawaab....
(*86)
(sumber http://fitua.blogspot.com/2011/12/kerajaan-bima-abad-xv-pernah-dipimpin.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar