Indonesia
adalah negeri yang sangat majemuk. Di negeri kita ini terdapat aneka ragam
sukubangsa dengan budaya, bahasa, dan seringkali juga agama, yang berbeda. Dulu
masing-masing suku tinggal di kampung atau negerinya masing-masing. Berkat
kemajuan dan perkembangan zaman, banyak orang yang merantau, pergi meninggalkan
kampung halamannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik, atau untuk menuntut
ilmu, di negeri orang. Pada zaman sekarang orang dari berbagai sukubangsa sudah
sering saling bertemu dan bergaul. Pertemuan orang dari latarbelakang suku dan
budaya yang berbeda dapat terjadi di mana saja: sekolah, kampus, tempat kerja,
bahkan di perantauan. Pergaulan kaum muda-mudi dari latarbelakang yang berbeda
tidak jarang kemudian berlanjut dengan hubungan yang lebih jauh dan resmi,
yaitu pernikahan
Apakah
pernikahan antar suku, atau ras, dapat diterima dan dibenarkan? Jika ya,
mengapa? Jika tidak, apa sebabnya? Tulisan ini hendak membicarakan persoalan
yang tetap hangat bagi kita yang tinggal dan hidup di rantauan. Persoalan ini
dapat timbul dan dihadapi oleh kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya.
Kalaupun Anda bukan lagi pemuda, persoalan yang sama tidak mustahil terjadi
pada keluarga Anda, misalnya, karena buah hati Anda jatuh hati pada seorang
kekasih yang bukan dari suku yang sama. Bagaimana menyikapinya?
Kita
harus mengingat bahwa pernikahan antar suku bukan hal baru sama sekali.
Pernikahan antar suku yang berbeda sudah terjadi sejak dulu. Yaitu sejak
terjadinya perjumpaan antara orang yang berbeda suku atau rasnya. Di Bima
sendiri, mungkin kita mengenal cerita kedatangan kerajaan bima sendiri, terjadi
perkawinan antara suku dan ras. Di Indonesia juga terjadi hal yang serupa.
Ketika kaum imigran dari Cina datang berbondong-bondong ke Indonesia, umumnya
mereka adalah laki-laki yang ingin mencari kehidupan lebih baik. Banyak di
antaranya yang mengambil perempuan pribumi menjadi istri.
Masalah
ini bukan lah masalah yang baru. Begitu juga dengan Bima, ketika kita berada di
rantauan sudah pasti kita akan menemukan orang orang dari berbagai suku dan
rasnya, Jika masalah ini tidak baru, mengapa harus diangkat dan dibicarakan di
sini? Alasannya – mungkin – dulu orang masih belum memiliki kesadaran identitas
diri yang sangat kuat, sehingga perkawinan antar suku/ras tidak banyak
dipersoalkan. Sekarang, seiring dengan bertambah pintarnya manusia, ada
kesadaran yang lebih kuat akan identitas suku dan nilai-nilai yang dijunjung.
Sejauh identitas suatu suku itu “lemah” , maka orang cenderung akan menerima
pernikahan antar suku secara diam-diam. Ketika identitas itu kuat, maka timbullah
kesadaran serta kebutuhan untuk mempertahankannya.
Kesadaran
akan identitas suku seperti ini mendorong orang untuk berpikir dan merasa bahwa
ia berbeda dari orang-orang dari suku lain. Bahwa ada nilai-nilai dan kebiasaan
tertentu yang dijunjung tinggi, yang merupakan ciri khas dari sukunya. saya
menyebutnya ‘budaya’ atau ‘adat’. Budaya Bima berbeda dari budaya Jawa atau
Budaya X amat kontras dengan budaya Y. Dan seterusnya.
Untuk
mengetahui sistem nilai yang dianut oleh suatu suku tertentu kita dapat
menelusurinya secara cepat. Kita dapat bertanya: apa yang paling penting dalam
hidup ini menurut pandangan suku itu? Bagaimana pandangannya tentang materi,
benda? Apakah sebagai alat, atau tujuan? Kapankah orang dapat dikatakan
“sukses” dalam hidupnya?” Bagaimana pandangannya tentang kerja dan
pekerjaan? Apa pekerjaan yang paling terhormat dan baik menurut orang itu? Apa
pekerjaan yang paling jelek menurutnya? Bagaimana sikap terhadap orangtua?
Bagaimana pandangan orangtua tentang anak? Masih banyak lagi daftar pertanyaan
yang dapat mengungkapkan nilai-nilai yang dianut oleh setiap orang. Apabila
nilai-nilai itu ditelaah lebih dalam, maka akan tampak jelas bahwa orang-orang
dari suku A memiliki kemiripan dalam pandangannya tentang hal-hal tertentu.
Orang-orang dari suku B memiliki kemiripan dalam pandangannya tentang hal-hal
yang lain.
Mungkin
kalian pernah dengar kata “ nika mpa labo
dou rasa ndai anae” ( nikah saja dengan orang se kampung ). Mungkin kita akan bertanya-tanya kenapa pernyataan itu
keluar dari saudara-saudara kita atau bahkan orang tua kita. Hmmmm…!!!
Manusia adalah mahluk yang sangat istimewa di dalam menentukan pilihan dan
seleranya. Di dunia fauna/ perbinatangan (maaf), tidak pernah
terjadi seekor kambing bercinta dengan dengan seekor kucing. Hahee.. apa jadinya. Secara jasmani, pernikahan manusia antar suku dan antar
ras adalah hal yang sama sekali tidak mustahil. Kendala yang paling besar bukan
datang dari sudut jasmani. Persoalan terberat justru datang dari masalah rohani dan takut kehilangan, yaitu dalam keluarga,
budaya dan
sistem nilai.
Saya punya seorang
sepupu yang berumur sekitar 23 thn, anak dari uwa (kakak dari ibu saya) saya di tanggerang yang juga menikah
dengan suku jawa. Dia lahir di Jakarta sekolah dan menyelesaikan kuliahnya di
jakarta. Di sini ia menjadi besar. Walaupun
sekarang dia belum menikah, tapi perjalanan dia menjalin hubungan tentunya
dengan orang orang di lingkungan dia, jadi aspek lingkungan sangat berpengaruh
dalam cara pandang, berpikir dan sistem nilai yang ia anut seseorang
terhadap pernikahan beda suku. Karena itu, persoalan pernikahan antar suku / ras sebenarnya
bukan terutama soal budaya. Yang sangat
penting harus dipertimbangkan masak-masak ialah perbedaan sistem nilai
dan cara pandang terhadap hidup.
Saya ingin membahas
kenapa keluarga atau orang orang di dekat kita mengatakan kita harus menikah
dengan orang se suku walau itu sebenarnya bukanlah sebuah patokan harga mati
yang harus kita lakukan, tapi setidaknya ungkapan seperti itu membuat kita
sedikit untuk mentelaah dan memicikkan mata untuk berpikir. Ada dan banyak orang yang berpikir bahwa pernikahan
adalah urusan pribadinya. Orangtua tidak perlu ikut campur. (ini juga pandangan
banyak orang di negeri Barat). Tapi bagi sebagian orang yang lain, urusan
pernikahan adalah urusan seluruh keluarga besar. Keluarga besarlah yang harus
ikut menyetujui dengan siapa si A akan menikah. Keluarga besarlah juga harus
ikut menentukan tanggal, jalannya upacara pernikahan dsb. Tentunya dengan
pilihan yang menikah. Jadi peran keluarga dalam menentukan pernikahan masih
sangat erat kaitannya dalam suku Bima atau dou mbojo sendiri.
Keputusan ada di tangan Anda yang akan memasuki pernikahan itu. Tapi jangan
lupa, Jika Anda ingin menikah – apalagi dengan pasangan yang berbeda
suku / ras atau dengan “dou rasa ma kalai” bawakan hal ini dalam doa-doa di hadapan Allah SWT. Sebagai orang beriman, kita yakin bahwa keputusan bukan hanya ada di
tangan kita sebagai pribadi. Juga bukan di tangan orangtua atau keluarga.
Keputusan dari Allah SWT. (Pulunk86)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar