04/11/11

Menikah Dengan Pasangan Berbeda Suku


Indonesia adalah negeri yang sangat majemuk. Di negeri kita ini terdapat aneka ragam sukubangsa dengan budaya, bahasa, dan seringkali juga agama, yang berbeda. Dulu masing-masing suku tinggal di kampung atau negerinya masing-masing. Berkat kemajuan dan perkembangan zaman, banyak orang yang merantau, pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kehidupan yang lebih baik, atau untuk menuntut ilmu, di negeri orang. Pada zaman sekarang orang dari berbagai sukubangsa sudah sering saling bertemu dan bergaul. Pertemuan orang dari latarbelakang suku dan budaya yang berbeda dapat terjadi di mana saja: sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan di perantauan. Pergaulan kaum muda-mudi dari latarbelakang yang berbeda tidak jarang kemudian berlanjut dengan hubungan yang lebih jauh dan resmi, yaitu pernikahan

Apakah pernikahan antar suku, atau ras, dapat diterima dan dibenarkan? Jika ya, mengapa? Jika tidak, apa sebabnya? Tulisan ini hendak membicarakan persoalan yang tetap hangat bagi kita yang tinggal dan hidup di rantauan. Persoalan ini dapat timbul dan dihadapi oleh kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya. Kalaupun Anda bukan lagi pemuda, persoalan yang sama tidak mustahil terjadi pada keluarga Anda, misalnya, karena buah hati Anda jatuh hati pada seorang kekasih yang bukan dari suku yang sama. Bagaimana menyikapinya?

Kita harus mengingat bahwa pernikahan antar suku bukan hal baru sama sekali. Pernikahan antar suku yang berbeda sudah terjadi sejak dulu. Yaitu sejak terjadinya perjumpaan antara orang yang berbeda suku atau rasnya. Di Bima sendiri, mungkin kita mengenal cerita kedatangan kerajaan bima sendiri, terjadi perkawinan antara suku dan ras. Di Indonesia juga terjadi hal yang serupa. Ketika kaum imigran dari Cina datang berbondong-bondong ke Indonesia, umumnya mereka adalah laki-laki yang ingin mencari kehidupan lebih baik. Banyak di antaranya yang mengambil perempuan pribumi menjadi istri.

Masalah ini bukan lah masalah yang baru. Begitu juga dengan Bima, ketika kita berada di rantauan sudah pasti kita akan menemukan orang orang dari berbagai suku dan rasnya, Jika masalah ini tidak baru, mengapa harus diangkat dan dibicarakan di sini? Alasannya – mungkin – dulu orang masih belum memiliki kesadaran identitas diri yang sangat kuat, sehingga perkawinan antar suku/ras tidak banyak dipersoalkan. Sekarang, seiring dengan bertambah pintarnya manusia, ada kesadaran yang lebih kuat akan identitas suku dan nilai-nilai yang dijunjung. Sejauh identitas suatu suku itu “lemah” , maka orang cenderung akan menerima pernikahan antar suku secara diam-diam. Ketika identitas itu kuat, maka timbullah kesadaran serta kebutuhan untuk mempertahankannya.

Kesadaran akan identitas suku seperti ini mendorong orang untuk berpikir dan merasa bahwa ia berbeda dari orang-orang dari suku lain. Bahwa ada nilai-nilai dan kebiasaan tertentu yang dijunjung tinggi, yang merupakan ciri khas dari sukunya. saya menyebutnya ‘budaya’ atau ‘adat’. Budaya Bima berbeda dari budaya Jawa atau Budaya X amat kontras dengan budaya Y. Dan seterusnya.
Untuk mengetahui sistem nilai yang dianut oleh suatu suku tertentu kita dapat menelusurinya secara cepat. Kita dapat bertanya: apa yang paling penting dalam hidup ini menurut pandangan suku itu? Bagaimana pandangannya tentang materi, benda? Apakah sebagai alat, atau tujuan? Kapankah orang dapat dikatakan “sukses” dalam hidupnya?”  Bagaimana pandangannya tentang kerja dan pekerjaan? Apa pekerjaan yang paling terhormat dan baik menurut orang itu? Apa pekerjaan yang paling jelek menurutnya? Bagaimana sikap terhadap orangtua? Bagaimana pandangan orangtua tentang anak? Masih banyak lagi daftar pertanyaan yang dapat mengungkapkan nilai-nilai yang dianut oleh setiap orang. Apabila nilai-nilai itu ditelaah lebih dalam, maka akan tampak jelas bahwa orang-orang dari suku A memiliki kemiripan dalam pandangannya tentang hal-hal tertentu. Orang-orang dari suku B memiliki kemiripan dalam pandangannya tentang hal-hal yang lain.

Mungkin kalian pernah dengar kata “ nika mpa labo dou rasa ndai anae” ( nikah saja dengan orang se kampung ). Mungkin  kita akan bertanya-tanya kenapa pernyataan itu keluar dari saudara-saudara kita atau bahkan orang tua kita. Hmmmm…!!!

Manusia adalah mahluk yang sangat istimewa di dalam menentukan pilihan dan seleranya. Di dunia fauna/ perbinatangan (maaf), tidak pernah terjadi seekor kambing bercinta dengan dengan seekor kucing. Hahee.. apa jadinya. Secara jasmani, pernikahan manusia antar suku dan antar ras adalah hal yang sama sekali tidak mustahil. Kendala yang paling besar bukan datang dari sudut jasmani. Persoalan terberat justru datang dari masalah rohani dan takut kehilangan, yaitu dalam keluarga, budaya dan sistem nilai.

Saya punya seorang sepupu yang berumur sekitar 23 thn, anak dari uwa (kakak dari ibu saya) saya di tanggerang yang juga menikah dengan suku  jawa. Dia lahir di Jakarta sekolah dan menyelesaikan kuliahnya di jakarta. Di sini ia menjadi besar. Walaupun sekarang dia belum menikah, tapi perjalanan dia menjalin hubungan tentunya dengan orang orang di lingkungan dia, jadi aspek lingkungan sangat berpengaruh dalam cara pandang, berpikir dan sistem nilai yang ia anut seseorang terhadap pernikahan beda suku. Karena itu, persoalan pernikahan antar suku / ras sebenarnya bukan terutama soal budaya. Yang sangat penting harus dipertimbangkan masak-masak ialah perbedaan sistem nilai dan cara pandang terhadap hidup.

Saya ingin membahas kenapa keluarga atau orang orang di dekat kita mengatakan kita harus menikah dengan orang se suku walau itu sebenarnya bukanlah sebuah patokan harga mati yang harus kita lakukan, tapi setidaknya ungkapan seperti itu membuat kita sedikit untuk mentelaah dan memicikkan mata untuk berpikir. Ada dan banyak orang yang berpikir bahwa pernikahan adalah urusan pribadinya. Orangtua tidak perlu ikut campur. (ini juga pandangan banyak orang di negeri Barat). Tapi bagi sebagian orang yang lain, urusan pernikahan adalah urusan seluruh keluarga besar. Keluarga besarlah yang harus ikut menyetujui dengan siapa si A akan menikah. Keluarga besarlah juga harus ikut menentukan tanggal, jalannya upacara pernikahan dsb. Tentunya dengan pilihan yang menikah. Jadi peran keluarga dalam menentukan pernikahan masih sangat erat kaitannya dalam suku Bima atau dou mbojo sendiri.

Keputusan ada di tangan Anda yang akan memasuki pernikahan itu. Tapi jangan lupa, Jika Anda ingin menikah –  apalagi dengan pasangan yang berbeda suku / ras atau dengan “dou rasa ma kalai” bawakan hal ini dalam doa-doa di hadapan Allah SWT. Sebagai orang beriman, kita yakin bahwa keputusan bukan hanya ada di tangan kita sebagai pribadi. Juga bukan di tangan orangtua atau keluarga. Keputusan dari Allah SWT. (Pulunk86)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar