30/06/11

Pariwisata NTB Incar Pasar Timteng

#saveBima.online — Nusa Tenggara Barat  mengincar pasar Timur Tengah. Pemerintah Provinsi NTB untuk mempromosikan NTB gencar mengikuti berbagai sales mission, seperti berpartisipasi dalam pameran wisata di dalam negeri dan luar negeri.
"Kalau promosi ke pasar Timur Tengah (Timteng) kami pilih karena ini pasar yang terus-menerus berkembang. Apalagi potensi kita ada, cocok dengan mereka. Mereka tipikalnya family tourism," kata Gubernur NTB M Zainul Madji dalam jumpa pers terkait Lombok Sumbawa Pearl Festival di Gedung Sapta Pesona, Jakarta,
NTB, menurut Zainul, memiliki potensi wisata alam dan masyarakatnya 80 persen adalah Muslim. Kedua hal ini, lanjutnya, cocok dengan pasar Timteng. Selain itu, NTB akan memiliki bandara internasional baru pada Oktober 2011 sehingga semakin mempermudah akses ke NTB.
Apalagi, tutur Zainul, akses ke beberapa daerah di NTB juga telah dipermudah dengan adanya pesawat penerbangan lokal yang disubsidi pemerintah daerah. "Kalau Mataram, Sumbawa, dan ke Bima, itu ada penerbangannya setiap hari. Bahkan ada yang dari Bali ke Bima," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi NTB Lalu Gita Ariadi menambahkan, alasan membidik pasar Timteng adalah supaya tidak bersaing dengan Bali. Alasan lainnya, menurut Gita, adanya kedekatan antara Timteng dan NTB, terutama sama-sama bernapaskan Islam.
"Kita tetap bidik pasar tradisional seperti negara-negara Eropa. Pasar tradisional kita dekatkan untuk MICE. Mereka, pasar tradisional ini masih mengangap Bali sebagai surga. Karena itu, kita bidik wisata MICE dan segmen pasar Timur Tengah," tuturnya.
Sarana promosi pariwisata yang dilakukan pihaknya adalah dengan mengadakan aneka festival. Festival tersebut antara lain Festival Kuda Bima. Zainul menjelaskan, keunikan festival tersebut adalah joki kecil alias anak-anak usia 6-10 tahun yang menjadi joki kuda. Ini memang merupakan tradisi budaya setempat untuk menguji keberanian para joki.
Festival lainnya adalah Festival Lakey berupa ajang surfing tingkat internasional. Pasar untuk minat khusus yaitu surfing, menurut Zainul, memang spesifik. Namun, lanjutnya, kualitas ombak NTB sangat bagus untuk surfing.
"Lalu nanti ada Festival Lombok Begendang di Mataram pada 22-24 Juli 2011. Gendang beleq adalah gendang yang sangat besar dan hanya ada di Lombok, serta dipukul pakai tangan. Ada pemilihan master gendang, yaitu lama-lamaan mukul dan mengeluarkan irama magis yang tidak sembarangan," ungkapnya.
Kemudian ada Festival Sengigi pada 14-16 Juni 2011. Serta ASEAN PGA Series VI 2011 berupa ajang golf tingkat ASEAN yang akan berlangsung pada 13-16 Oktober 2011.
Sementara itu, Zainul mengatakan, di tahun 2015 akan dilangsungkan peringatan dua abad meletusnya Gunung Tambora. "Dulu, saat Gunung Tambora meletus, efek letusannya ini mengubah peta iklim dunia. Jadi tidak hanya pariwisata, tetapi juga berhubungan dengan keilmuan," ungkapnya.
Zainul juga memaparkan angka kunjungan wisatawan asing di triwulan pertama tahun 2011, yaitu 56.000 orang. Adapun di tahun 2010 di triwulan pertama, wisman mencapai 54.000 orang.
(sumber: http://travel.kompas.com/read/2011/06/30/05183112/Pariwisata.NTB.Incar.Pasar.Timteng)

Disbudpar NTB Gelar Festival Kuda Bima Kedua


#saveBima.online_  Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) NTB, L. Gita Ariadi, mengatakan, Festival Kuda Bima akan kembali digelar untuk meriahkan hari jadi Bima ke 371 dan menyukseskan program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012. Festival Kuda Bima ini rencananya akan digelar tanggal 3-11 juli 2011 di Bima. Festival ini sangat familiar bagi masyarakat Bima, karena telah ada sejak zaman kerajaan Bima yang disebut Pacoa Jara atau pacuan kuda dan Jara Sarau atau parade kuda.

“Selain itu, kuda sangat bermanfaat bagi alat transportasi dan alat pertahanan wilayah kerajaan Bima yang disebut Suba Jara atau pasukan berkuda,” kata L. Gita Ariadi, kepada Reporter Global FM Lombok, di ruang kerjanya, Kamis (30/6).

Gita menegaskan, Festival Kuda Bima ini akan menjadikan kuda sebagai icon Bima, yakni ingat kuda, ingat bima dan ingat bima, ingat kuda. Bagi masyarakat Bima, memiliki kuda merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Sebab, sebagian besar pejabat, pengusaha dan tokoh-tokoh terpandang di kabupaten/kota Bima memiliki kuda pacuan.

Selain itu, pelaksanaan pacoa jara diadakan di Tarena Jara atau latihan rutin setiap kamis dan minggu di lapangan Pacoa Jara Kabupaten Bima. Pacoa jara merupakan adu kecepatan kuda dengan joki cilik sebanyak 6 ekor kuda yang diatur berdasarkan kelas yang ditetapkan, sehingga tampil ataraktif dan menarik.

Berbagai event sebut Gita, akan digelar, seperti Parade 500 kuda hias beserta joki dan penuntun serta pasukan kavelari, bursa atau pameran serba kuda, seminar tentang kuda, pacoa jara, pacuan benhur, lomba lukis kuda dan lomba cerpen kuda. Festival yang diperkirakan menelan biaya Rp 1,1 miliar dari sharing Kementerian Budpar, Pemprov NTB, Kabupaten dan Kota Bima itu, akan memberikan hadiah menarik bagi para pemenang.

“Beberapa diantaranya, 60 ekor sapi, 19 unit motor, 30 unit TV, 20 HP, uang tunai dan lainnya. Digelarnya Festival Kuda Bima ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat peternakan. Selain itu, sebagai wahana promosi pariwisata dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke NTB,” harapnya.
sumber:koran lombok.

Bupati Dompu Wacanakan Bangun Bandara

#saveBima.online DOMPU --Bupati Dompu Drs H Bambang M Yasin mewacanakan membangun bandara. Hal itu seiring dengan berbagai perkembangan yang terjadi yang membutuhkan kecepatan dalam bertransportasi. Menurutnya jumlah kunjungan ke daerahnya dengan berbagai keperluan seperti di sektor pariwisata dan investasi kian meningkat. Akan lebih meningkat lagi manakala di daerah itu terdapat sebuah bandara dalam mempermudah transportasi.
Potensi daerahnya menurut bupati sangat memungkinkan untuk itu. Khusus sektor pariwisata, Pantai Lakey Hu’u dengan gelombangnya yang tinggi merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Belum lagi Gunung Tambora yang telah meninggalkan catatan sejarah yang mendunia. Potensi alam lain adalah mulai berkembangnya pertambangan, baik tambang emas, tembaga, mangan dan pasir besi. ‘’Potensi inilah yang akan memacu jumlah kunjungan ke daerah,’’ paparnya.
Sementara Kadishubkominfo NTB Ir Ridwansyah menyatakan wacana itu sah-sah saja karena didukung oleh berbagai potensi yang dimiliki daerah yang bermotto nggahi rawi pahu. Kendala yang dihadapi selama ini adalah terbatasnya sarana transpotasi terutama lapangan terbang bagi pendaratan pesawat perintis. ‘’Karena itu wacana Bupati Dompu perlu diapresiasi,’’ kata Ridwansyah.
Terbangunnya wacana bupati itu tambahnya akan memicu peningkatan jumlah kunjungan ke daerah itu. Saat ini Kabupaten Dompu tidak lagi sebagai daerah transit tetapi lebih dari itu dengan berbagai potensi yang dimiliki merupakan sebuah daerah yang menjadi tujuan. ‘’Paling tidak kalau ada lapangan terbang perintis Dompu akan semakin maju,’’(86*)

28/06/11

Mengenal Tari Sere

Pada masa kejayaan kesultanan Bima, banyak sekali tarian dan kreasi seni yang diciptakan. Secara umum, tarian tradisional Bima dibagi dalam tiga kelompok, YaItu Tari klasik Istana atau yang dikenal dengan Mpa’a Asi, Tarian Rakyat atau Mpa’a Ari Mai Ba Asi, serta tarian Donggo. Tarian Donggo adalah tarian yang dikreasi oleh masyarakat Donggo dan ditujukkan untuk upacara-upacara Adat.

Tari Sere merupakan tari klasik Istana. Tari ini diciptakan oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin, dimainkan oleh dua orang perwira kesultanan, bersenjatakan tombak dan perisai. Dengan wajah perkasa serta keberanian yang membara, dua perwira melompat dan berlari ke segala penjuru, berenjatakan tombak menyerang dan menangkis serangan musuh. Sebagai pancaran menghadapi musuh – musuh Dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri).
Para penari selalu melakukan gerakan melompat sambil berlari, oleh sebab itu tari ini di berinama mpa’a sere , yang berarti melompat sambil berlari (sere). Tari ini diiringi musik tambu (tambur). Hingga kini, Sere masih tetap eksis, dan selalu digelar/dipertunjukkan pada saat penyambutan tamu-tamu penting pada acara-acara Pemerintah maupun perayaan Hanta UA PUA. Namun generasi Sere ini perlu diupayakan Regenerasi agar tongkat estafet pelestarinnya dapat dilanjutkan
#saveBima.online, - Pada umumnya Kerajinan tradisional adalah proses pembuatan atau pengadaan peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan lain sebagainya. Proses pembuatannya harus berpedoman pada nilai dan norma budaya, sebab semua perlengkapan hidup yang dibuat, merupakan salah satu unsur budaya.

Ketrampilan yang dimiliki oleh para pengrajin, diperoleh dari warisan leluhur, tanpa melalui pendidikan formal. Bermodalkan ketrampilan yanng dimiliki, mereka mampu membuat berbagai jenis barang, walau dengan peralatan yang sederhana. Bahan baku yang dibutuhkan, mudah diperoleh disekitar lingkungannya, antara lain Tumbuh-tumbuhan, Logam, Batu-batuan, tulang dan Kulit hewan dan sebagainya.

Kerajinan tradisional Mbojo kaya dengan jenis dan bentuknya. Bukan hanya tahan lama dan kuat, tetapi juga mengandung nilai seni budaya yang tinggi. Karena itu kerajinan tradisonal Mbojo harus dilestarikan oleh Pemerintah dan Masyarakat. Kalau usaha pelestarian dan pengembangan itu tidak segera dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama, kerajinan tradisional Mbojo, akan dilupakan oleh masyarakat pemiliknya. Kekhawatiran itu cukup beralasan, melihat adanya kecenderungan masyarakat yang menganggap bahwa hasil kerajinan tradisional Mbojo, selain tidak bermutu juga sudah gersang dengan nilai seni.

Saya tertarik ketika menonton salah satu acara yang di tayangkan oleh tv swasta .Dalam rangkaian acara itu, seorang ibu warga Bima  mengenakan sebuah penutup kepala dari anyaman daun pandan yang menutupi kepala dan sebagian tubuhnya. Orang-orang suku Bima menyebutnya dengan Lupe. Lupe berbentuk lonjong, menutupi kepala dan badan yang berfungsi sebagai topi/payung sekaligus Jas Hujan. Yah, bisa dikatakan bahwa Lupe adalah Jas Hujan Tradisional masyarakat Mbojo tempo dulu terutama di beberapa wilaya di bima. Daun pandan gunung, berdaun lebar lagi panjang, seratnya kuat tidak mudah robek. Lupe sangat cocok bagi petani peternak atau pengembala yang sedang bekerja di sawah ladang dan padang nan luas.
Pada umumnya anyaman yang bahan bakunya Daun Pandan  (Bima : Ro’o Fanda), hasil anyaman pengrajin dari bima ini. Tetapi ada juga yang dianyam oleh masyarakat Mbojo yang bertempat tinggal di daerah dataran tinggi, seperti Desa Lela Mase (Kec. Rasanae Timur), dan beberapa desa di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Pohon pandan dalam berbagai jenis bisa tumbuh subur di daerah Bima dan Dompu. Sebab itu persediaan bahan  baku untuk anyaman daun pandan tidak ada masalah.

Cara membuat Lupe tidaklah terlalu sulit bagi masyarakat Mbojo terutama masyarakat Sambori dan Sekitarnya. Daun Pandan yang telah diambil dari pohonnya dikeringkan lebih dulu, kemudian dianyam. Cara menganyamnya yaitu dengan menyilang daun pandan yang satu dengan daun pandan yang lainnya, dan hampir sama dengan mengayanyam Tikar Pandan atau Dipi Fanda. Yang membedakakanya adalah finishing dari Lupe yang menyerupai Topi atau payung. Dibutuhkan waktu satu hari untuk menganyam Lupe sampai menghasilkan anyaman Lupe yang siap untuk dikenakan terutama untuk melindungi diri dari hujan dan terik matarahari.

Lupe sangat unik. Ini adalah sebuah warisan leluhur masyarakat Mbojo yang perlu dilestarikan keberadaanya. Jika masyarakat bima betul-betul dikembangkan sebagai desa adat, maka Lupe dan komoditi lainnya dari berbagai budaya dan kesenian bima,  sangat berpotensi sebagai salah satu souvenir atau oleh-oleh buat wisatawan yang berkunjung. Hal ini tentunya akan menggairahkan para pengrajin di wilayah tertentu untuk memproduksi lupe dan kerajinan ketrampilan lainnya untuk menopang perekonomian mereka. Semoga……!

(www.alanmalingi.wordpress.com)

Sigi ‘Kamina’, Mesjid Tertua Di Dana Mbojo

#saveBima.online - (86) Lokasi masjid ini terletak di dataran tinggi yang di kelilingi oleh pegunungan yang berhutan lebat dan terpencil dari Dusun dan Desa lain. Nama dusun ini adalah Kalodu atau yang dikenal juga dengan Kamina. Pada masa sekarang Dusun Kalodu telah menjadi desa Kalodu yang merupakan wilayah kecamatan Langgudu dan berjarak lebih kurang 75 Km di sebelah selatan Kota Bima.

Masjid kuno ini oleh masyarakat Mbojo (Bima) diberi nama “ Sigi Kalodu atau Sigi Kamina” (Sigi berarti Masjid). Didirkan sekitar tahun 1621 M. Oleh jena Teke La Kai ( setelah memeluk agama Islam bernama Abdul Kahir ), bersama beberapa Mubalig dari Sulawesi Selatan ( Goa, Tallo, Luwu dan Bone ) dan para pengikut Jena Teke Abdul Kahir ( Jena Teke berarti Putera Mahkota ). Sigi Kalodu merupakan masjid kuno tertua di Bima setelah Masjid kuno Kampo NaE ( Kampung NaE ) kecamatan Sape. Masjid ini juga didirikan oleh para mubalig dari Gowa, Tallo, Luwu dan Bone, beberapa tahun sebelum Masjid Kalodu di bangun.
Sebelum masjid Kalodu di bangun, Dusun Kalodu merupakan tempat persembunyian Jena Teke La Kai bersama pengikutnya, yang terpaksa meninggalkan Istana karena mau dibunuh oleh pamanya yang bernama Salisi. Dengan bantuan Belanda Salisi berambisi mengambil alih kekuasaan, walau tidak di setujui oleh Lembaga Hadat Dana Mbojo ( Lembaga Pemerintahan Kerajaan ).

Pada tahun 1621 M, Jena Teke La Kai bersama pengikut berangkat ke Sape untuk menemui para mubalig dari Sulawesi Selatan yang datang untuk menyiarkan agama Islam serta ingin menyampaikan pesan raja Gowa dan Tallo kepada Raja dan keluarga Istana Bima. Karena itu raja-raja Sulawesi Selatan di Sape, maka pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H ( 7 Februari 1621) Jena Teke La Kai bersama pengikutnya memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan para gurunya. Sejak itu nama La Ka’I juga bernama Bumi Jara Mbojo bernama Awaluddin, La Mbilla bernama Jalaluddin, Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese bernama Sirajuddin.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke Abdul Kahir bersama pengikut didampingin oleh beberapa orang gurunya dari Sulawesi Selatan kembaliu menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam, selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.

Karena bangunan kuno tersebut sudah lama tiada, di telan zaman maka sulit untuk diketahui dengan pasti bagaimana sesungguhnya ( Arsitektur ) Masjid Kalodu menurut Bo ASI (Bo Istana) yaitu catatan kuno peninggalan Kesultanan Bima, bentuk Masjid Kalodu di gambarkan sebagai berikut:
1. Bangunan masjid berbentuk segi empat sama sisi ( bujur sangkar ) dan tidak memiliki migrab seperti lazimnya sebuah Masjid pada masa berikutnya. Empat sisi yang sama itu merupakan simbol empat orang putera dan keluarga Raja yang memeluk Agama Islam yaitu La kai ( Abdul Kahir ), Bumi Jara Mbojo (Awaluddin ), La Mbilla ( Jalaluddin ) dan Manuru Bata Putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese ( Sirajuddin ). Selain itu empat buah sisi bangunan merupakan simbol daerah asal para gurunya yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
2. Tiang bangunan masjid ada delapan, yang berbentuk Nggusu Waru (segi delapan) merupakan simbol dari empat orang putera dan keluarga Istana dan empat daerah asal para ulama yang menjadi Guru mereka yaitu Gowa, Tallo, Luwu dan Bone.
3. Tidak dijelaskan luas bangunan induk dari bangunan masjid tersebut. Mungkin bisa diketahui dari luas bekas bangunan yang sampai sekarang masih dapat di saksikan. Luas bangunan Masjid + 2 Are, belum terhitung luas tempat tinggalnya Jena Teke (Abdul Kahir) bersama pengikut dan anggota masyarakat yang datang untuk belajar agama Islam.
Dalam Bo’ Istana tidak dijelaskan jenis bahan bangunan Masjid, tetapi besar dugaan bahwa bangunan itu dibuat dari kayu, karena kayu marupakan bahan utama dari semua jenis bangunan mereka termasuk rumah tempat tinggal. Dugaan itu semakin kuat, mengingat Dusun Kalodu berada di tengah hutan belantara, yang banyak menyediakan berbagai jenis kayu untuk bahan bangunan.
Atap masjid, mungkin dibuat dari “ Ati “ atau “Kandolo” (jenis ilalang) yang banyak tumbuh di daerah dataran tinggi, yang sampai sekarang menjadi bahan atap rumah masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu)
Kemungkinan lain atap Masjid dibuat dari bambu yang dibelah dengan ukuran panjang sekitar 30 cm yang oleh masyarakat disebut “Sira” (sirap) yaitu atapnya dibuat dari kayu yang dibelah dengan ketebalan 1 cm dan dipotong berukuran kurang lebih 30 cm karena bahan bangunan dibuat dari kayu maka tidaklah mengherankan apabila bangunan masjid Kuno di kalodu, tidak akan bertahan lama, namun demikian membangun kembali masjid kuno itu walau dalam bentuk replica menjadi suatu keharusan agar generasi muda mengetahui betapa banyaknya suka duka yang dialami oleh Abdul Kahir bersama pengikutnya dalam menegakkan kejayaan Islam di Dana Mbojo (Bima).
Seandainya Masjid Kalodu yang berada di tengah hutan belantara itu tidak ada, maka dapat dibayangkan betapa sulitnya para Juru Dakwah dan Mubalig datang menyiarkan Agama Islam di Dusun dan Desa yang berada di Kaki gunung terpencil itu dengan kata lain sesungguhnya Masjid Kalodu memiliki keistimewaan yang jarang ditemukan di daerah lain karena di daerah lain semua masjid tertua pada umumnya berada di daerah pesisir bukan di daerah padalaman apalagi daerah perbukitan seperti Dusun Kalodu, sehingga di daerah-daerah tersebut sulit mengislamkan masyarakat pedalaman.

follow me @saveBima

(Sumber : Sejarah Bima Dana Mbojo, H. Abdullah Tayib, BA yang disadur oleh www.alanmalingi.wordpress.com)

24/06/11

Ombak Pantai Lakey Bagai Surga


Bagi pecinta olah raga selancar dapat dipastikan akan berupaya berkeliling dunia hanya untuk mencari liukan ombak terindah dan menantang ke seluruh pantai di dunia untuk berselancar. Salah satu pantai yang menjadi tujuan wisatawan dan pecinta olah raga selancar dunia dan Indonesia adalah Pantai Lakey. Untuk membuktikannya, tidak ada salahnya mencoba mendatangi pantai yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini.

Saat itu musim kemarau, membuat dedaunan meranggas, rerumputan pun mengering. Meski begitu, angin kencang dan ombak menggulung tinggi, tetap saja menjadi atraksi menarik Pantai Lakey. Yah, itulah kondisi alam yang disuguhkan sepanjang perjalanan 40 kilometer arah selatan dari pusat Kota Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), sebelum tiba di Kecamatan Hu`u, tempat Pantai Lakey berada.

Perbukitan yang menghadang gempuran angin laut, tampak kerontang. Tanaman yang menutupi permukaan bukit-bukit, kering. Udara yang menerpa kulit pun terasa seperti menggigit. Dompu dan Bima merupakan daerah di bagian timur NTB. Daerah tersebut, berdasarkan perkiraan Badan Meteorogi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), merupakan daerah yang paling akhir masuk musim hujan dibandingkan daerah lain di NTB.

Memasuki Desa Daha yang berjarak sekitar dua kilometer dari Pantai Lakey, tiupan angin laut mulai terasa. Dari kejauhan indahnya panorama pantai mulai menyeruak. Tapi, hasrat untuk segera sampai di Pantai Lakey harus tertahan lebih dulu. Perjalanan agak tersendat karena kondisi jalan yang rusak parah. Ratusan meter jalan di sana sulit untuk dilalui kendaraan bermotor.

Sesampai di Pantai Lakey, rasa penasaran akhirnya terbayar. Angin laut bertiup kencang. Sementara berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai, terlihat puluhan peselancar berusaha menaklukkan ombak yang bergulung-gulung.

Peselancar tersebut ada yang hanya bermain dengan papan selancar, tapi ada pula yang bermain menggunakan layang-layang (kite surfing). Mereka adalah wisatawan yang juga peselancar dari berbagai negara seperti Australia dan Amerika Serikat.

Pantai Lakey konon merupakan salah satu lokasi berselancar terbaik dunia. Pantai Lakey mempunyai kehebatan karena memiliki empat jenis ombak, yaitu Lakey Peak, Cobble Stones, Lakey Pipe dan Periscope. Bagian yang paling konsisten dan hebat dalam berselancar di Lakey yaitu Lakey Peak.

Karena ombaknya yang stabil sepanjang tahun, maka Pantai Lakey secara reguler menjadi lokasi digelarnya kompetisi selancar tingkat dunia. Kompetisi terakhir di Pantai Lakey dilakukan pada 31 Oktober yang digelar kejuaraan “Lakey Peak Sultan Cup 2009″. Sebanyak 50 peserta termasuk delapan peselancar luar negeri ikut berlaga saat itu.

Kunjungan wisatawan ke Pantai Lakey mencapai puncaknya pada April-Mei. Pada bulan tersebut kunjungan wisatawan rata-rata mencapai 300 orang per hari. “Pada musim ramai di bulan April-Mei, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pantai Lakey rata-rata 300 orang per hari,” kata peselancar Indonesia, Ali, yang mengaku sudah mencoba sejumlah tempat selancar di dunia itu, namun yang terbaik dan terindah ada di Pantai Lakey.

Infrastruktur seperti jalan menuju pantai yang rusak parah, tampaknya harus segera diperbaiki, kebersihan lingkungan harus digalakkan dibarengi dengan penyediaan tempat sampah, pasokan air bersih yang tersendat perlu juga disolusikan.

Pantai Lakey memiliki ombak yang indah, mungkin tak terbantahkan, sehingga disebut-sebut sebagai surganya para peselancar dalam dan luar negeri, itu juga realita. Namun, potensi besar itu belum didukung fasilitas memadai.

Lokasi

Pantai Lakey Kecamatan Hu’u adalah salah satu lokasi berselancar terbaik dunia. Karena kehebatan dan konsistensi ombaknya, setiap tahunnya pantai Lakey secara reguler dijadikan sebagai tuan rumah dari kompetisi selancar tingkat dunia. Bahkan, guna mengakomodir minat para peselancar itu, di Pantai Lakey cukup sering digelar 'event' internasional, seperti Lakey Peak Sultan Cup pada Oktober 2009, Kite Surfing Contest pada Mei 2010  dan pada 3-5 Desember 2010 perhelatan besar Festival Lakey juga dilaksanakan di kawasan berpanorama indah ini.
Pantai Lakey – Hu’u terletak kira-kira 5 jam dari kota Sumbawa Besar dan dari kota Dompu kira-kira memakan waktu 1 jam 45 menit ke arah selatan. untuk sampai ke Pantai Lakey, wisatawan harus menyeberang dari Pelabuhan Padangbai (Bali) -  Pelabuhan Lembar (Lombok) yang memakan waktu sekitar empat jam, dilanjutkan   menyeberang dari Pelabuhan Kayangan (Lombok) - Poto Tano (Sumbawa) sekitar 1,5 jam, serta jalan darat menyusuri jalan darat dari Poto Tano hingga ke Pantai Lakey yang jauhnya mencapai 300 kilometer.

Pantai Lakey-Hu’u mempunyai kehebatan 4 jenis ombak yaitu : Lakey Peak, Cobble Stones, Lakey Pipe dan Periscop. Dan beberapa kilometer di dekat pantai Lakey anda akan menemukan Spot lain yang tak kalah hebatnya yang dikenal dengan Periscop, bagian yang paling konsisten dan hebat dalam berselancar di Lakey yaitu Lakey Peak.


http://eriksquare.blogspot.com/2011/03/ombak-pantai-lakey-bagai-surga.html

23/06/11

Senjata Pamungkas Pariwisata Dompu-Bima

Menyongsong Visit Lombok Sumbawa 2012;

(pulunk86) Sejenak saya terdiam dengan dahi mengkerut ketika ditanya oleh seorang sahabat, kekuatan dan daya tarik apa yang dimiliki oleh Dompu-Bima yang membedakannya dengan daerah lain, sehingga pariwisatanya layak dijual?

Bima -Jika dilihat dari arus kunjungan wisatawan, pertanyaan ini sangatlah wajar, mengingat jumlah wisatawan yang berkunjung baik wisatawan domestik maupun mancanegara ke daerah ini masih sangat minim. Padahal, kondisi alam kabupaten Dompu-Bima yang memiliki banyak daerah pegunungan dan pantai serta hamparan sawah/kebun dengan landskep yang mempesona adalah modal dasar pengembangan pariwisata.
Pasca pencanangan program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012, hampir semua daerah yang memiliki ODTW di Nusa Tenggara Barat berlomba-lomba membenahi diri. Target mendatangkan 1 juta wisatawan oleh pemerintah bak cambuk pendorong bagi semua stakeholder pariwisata untuk menyiapkan berbagai amunisi. Tidak ketinggalan kabupaten Dompu-Bima juga ikut ambil bagian dalam program ini.
Tak ada objek wisata yang tak layak dijual, daerah Dompu-Bima menyimpan banyak kekayaan alam/keanekaragaman hayati, atraksi budaya dan keunikan adat istiadat yang menjadi warisan para leluhur, hidup dan berkembang dari waktu ke waktu. Daerah ini memiliki banyak potensi dan obyek wisata yang menarik untuk disuguhkan, seperti wisata alam/ekowisata, wisata sejarah, kuliner, seni dan budaya serta wisata petualangan yang kesemuanya dapat menjadi menu utama bagi wisatawan yang berkunjung. 
Dompu memiliki pantai Lakey-Hu’u, merupakan salah satu tempat selancar terbaik dunia. Tidaklah berlebihan bila kita menderetkan nama Lakey sejajar dengan tempat selancar sekaliber Pantai Hawai-USA. Betapa tidak, Ombak liar pantai Lakey-Hu’u akan memacu adrenalin anda saat mencoba berdiri seimbang di atas papan selancar yang digulung oleh gelombang setinggi 6 sampai 8 meter. Letaknya yang langsung menghadap lautan lepas Australia menganugerahi pantai lakey ombak yang konsisten sepanjang tahun. Waktu antara Maret-Agustus yang bertepatan dengan libur musim panas di Eropa adalah saat yang terbaik untuk bertandang ke pantai ini.
Keistimewaan gelombang laut pantai Lakey yang tidak dimiliki oleh spot surfing lain menurut beberapa peselancar asal Brasil adalah; Lakey memiliki gelombang dengan arah ke kiri, bukan ke kanan seperti pada umumnya laut. Disamping itu, di tempat inipun dijumpai 5 titik surfing yaitu Lakey Peak, Pipe, Nungas, Cable Stone, dan Periscope yang menyajikan aneka jenis gelombang dengan karakter yang berbeda.
Sungguh, banyak peselancar yang pernah bercinta dengan ombak pantai Lakey, selalu rindu akan belaiannya. Ombak Lakey bak gadis perawan selalu menanti sentuhan, pelukan serta birahi para peselancar. Keganasan dan kehebatan ombaknya menjadi kekuatan magis yang dapat menyihir peselancar dunia dan membangkitkan gairah para penikmat ombak. Dengan goyangan dan kemolekkannya, Lakey-Hu’u akan menjadi “last destination” bagi para pemuja ombak dunia.
Berbagai atraksi budaya dan keunikan adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Dompu-Bima merupakan kekuatan tersendiri bagi pariwisata daerah ini. Sejak dahulu kala daerah ini memiliki filosofi dan apresiasi budaya serta rasa seni yang tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa peninggalan bersejarah yang dapat dijumpai saat ini antara lain: Roa Rumu, Batu Puma, Wadu Pa’a (batu pahat), situs Doro Bata (gunung/bukit batu bata) di Kandai I Dompu, situs waru kali (kompleks makam kuno), Candi Sambi Tangga, situs Nanga Sia, Batu Kursi (wadu kadera) yaitu batu berupa kursi tempat penobatan para Ncuhi (pemimpin), bekas Telapak Kaki Ncuhi dan Kubur Duduk di kawasan Hu’u. Situs ini ditemukan oleh tim Arkeologi Pusat Jakarta dan Denpasar-Bali (Humas Pemda Dompu, 2009).
Produk kepariwisataan Dompu-Bima mempunyai daya jual yang sangat tinggi dan strategis untuk dikembangkan dalam rangka VLS 2012. Kekuatan pariwisata daerah ini disamping alam juga terletak pada masyarakat dan budayanya. Hal senada pernah diungkapkan oleh ketua Majelis Adat Dana Mbojo, Hj. Siti Maryam Salahuddin, SH “ Di Bima ini sangat cocok untuk wisata budaya” (Sumbawanews.com, 2009)
Ragam budaya, atraksi kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di masyarakat daerah ini akan menjadi pembangkit selera wisatawan untuk berkunjung. Beberapa tarian dan atraksi kesenian daerah yang layak dijual dan dapat dinikmati oleh wisatawan antara lain; Da’ha Lira-tarian menggambarkan keahlian gadis lokal menenun kain tradisional, Hadrah-tarian yang menggunakan alat musik rebana pengaruh dari kultur Arab, Buja Kadanda, Kareku Kandei-membuat irama bersahutan dengan menumbuk alu di atas antan dilakukan pada acara sunatan dan perkawinan. Di daerah ini juga memiliki upacara yang spektakuler dikenal dengan Hanta Ua pua (sirih puan), merupakan upacara peringatan masuknya agama islam di tanah Bima. Kunjungan anda ke daerah ini belumlah sempurna bila tidak menyaksikan Pacoa Jara (pacuan kuda) dengan joki yang masih bocah tanpa pelana.
Tarian tradisional lain yaitu Lenggo-sebuah gerakan tarian yang melibatkan para gadis remaja-diciptakan pada abad ke 16 (Lombok & Sumbawa Tourist Guide Magazine, 2009). Dompu-Bima yang berada di pulau Sumbawa ini juga terkenal sebagai salah satu daerah penghasil Madu terbaik di Indonesia. Untuk merefleksikan aktivitas ini, diciptakan sebuah tarian Weha Ani (mengambil madu) dengan gerakan yang gemulai. Untuk menggambarkan keperkasaan, daerah ini memiliki tradisi Ndempa (berkelahi masal) bertempat di lereng bukit daerah Bima, melibatkan pemuda setempat, Woha-Tente.
Suguhan kesenian lain yang tidak kalah menarik adalah Ntumbu Tuta. Anda akan berdecak kagum bila menyaksikan atraksi ini-sebuah permainan tradisional saling menyerang dengan menggunakan kepala tanpa alat pengaman sedikitpun. Permainan ini dilakukan oleh kaum laki, dapat dijumpai di desa Wawo Maria-Bima. Para petarung tidak merasakan kesakitan atau terluka karena sebelum turun ke arena, konon telah mendapat kekebalan yang diwarisi secara turun temurun.
Visit Lombok and Sumbawa 2012 adalah momentum yang tepat untuk menata kembali dan mempromosikan aset pariwisata yang ada. Daerah Dompu-Bima dengan potensi alam, atraksi kesenian, keunikan adat istiadat dan keragaman budayanya akan menjadi aset besar dan kekuatan baru pariwisata di wilayah timur yang mampu mendonkrak arus kunjungan wisatawan ke daerah “Nggahi Rawi Pahu dan Ngaha Aina Ngoho”


http://www.sumbawanews.com/sumbawa/wisata/senjata-pamungkas-pariwisata-dompu-bima.html

PARIWISATA BIMA DIANTARA KEKERINGAN DAN KEGERSANGAN

Sape Harus Memiliki Hotel Yang Representatif
Pariwista bagi Bima adalah masa depan. Keindahan alam yang tesembul diantara kekeringan dan kegersangan merupakan nikmat Tuhan yang harus di syukuri. Bentuk kesyukuran harus diberdayagunakan untuk kemaslahatan masyarakat Bima. Potensi pariwisata yang terpendam ini tidak akan member manfaat apa-apa bagi masyarakat Bima jika tidak segera dikelola. Pengelolaannya, dibutuhkan kebersamaan anatar pemerintah, swasta dan masyarakat.
Pemerintah harus mendorong upaya pembangunan pariwisata melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak. Tetapi semua itu harus dilandasi dengan perencanaan yang matang dan futuristic. Pemerintah harus melakukan studi yang mendalam kemudian memutuskan wilayah mana yang dipilih menjadi pusat pengembangan pariwisata. Tentunya dengan menghitung efek berganda yang ditimbulkan.
Wilayah Sape adalah merupakanpilihan yang pertama. Wilayah ini memiliki banyak keunggulan dibanding wilayah lain. Utamanya wilayah ini berada di ujung timur Kabupaten Bima ini akan menjadi lokomotif bagi wilayah-wilayah lain disepanjang jalur trans Sumbawa yang berakhir di pelabuhan Sape. Berkembangnya sape juga akan memberikan dampak langsung pada wilayah-wilayah lain disekitarnya terutama wawo di bagian Barat yang kaya dengan wisata etnik seperti Ntubu, Kalero, Hadra, Lengge, Sagele, Mpa’a, Peda dan sebagainya.
Langgudu di selatan dengan teluk Waworada yang kaya dengan sumber lautnya. Juga wilayah kecamatan Wera di bagian utara dengan Gunung Sangiang dan Savanna yang juga sangat potensial untuk pembangunan wisata.
Jamaluddin, seorang pemandu wisata local mengatakan wilayah Sape bisa ditembus dari berbagai arah. Jika pariwisata berkembang kombinasi paket wisata ke sape cukup banyak pilihan. “Bisa mampir di wawo menyaksikan berbagi atraksi budaya, mampir di sari melihat permadani bawang merah. Atau melalui wera melihat Gunung Sangiang dan savanna atau melalui Karumbu bisa ke Pela parado dulu,” ujar Kamaruddin.
Jika pariwisata di Sape berkembang, industry supporting juga akan berkembang. Dengan demikian lapangan pekerjaan bagi masyarakat Bima akan terbuka sangat lebar. Harga-harga dengan sendirinya akan terdongkrak dan pendapatan akan membaik. Melihat kondisi ekonomi dan politik di bima peran pemerintahlh yang harus lebih besar. Pemerintah harus aktif memperomosikan pariwisata secara formal atau non formal.
Pemkab Bima, mungkin bisa belajar dari Lombok  Tengah yang lebih dulu berinisiatif dengan hotel Tasturanya “Pemkab Bima mungkin perlu melakukan hal yang sama juga. Pemkab perlu membangun hotel yang representative di Sape,” tambah Jamaluddin. Salaam ini wisatawan yang menuju Pulau Komodo enggan berlama-lama di Sape karena tidak ada hotel yang memadai. Biasanya kata Jamaluddin para pelancong tersebut turun dari bandara pagi hari, kemudian berputar-putar kota, sore langsung naik kapal. Ada juga rombongan menggunakan jasa travel dari mataram langsung naik kapal.
Kalau ada hotel yang representative tentu ada pilihan bagi para pelancong untuk menginap di Sape. Nah kesempatan itu bisa kita gunakan untuk mengajak pelancong keliling melihat yang lainnya,” kata Jamal bersemangat.
Kenapa harus pemerintah? Karena kalau swasta atau masyarakat untuk saat ini rasanya cukup sulit. Beberapa saat yang lalu ada masyarakat yang berinisiatif membangun cottage di Pantai Toro Wamba, namun karena tidak ada dukungan pemerintah, usaha itupun mental. Cottage itu kini menjadi saksi bisu keindahan Toro Wamba. Jika Pemkab Bima merintis upaya pembangunan hotel diwilayah Sape tentu akan mengundang minat swasta dan juga masyarakat. “Kalau pariwisata disapai berkembang saya yakin pemerintah pusat akan memberikan perhatian terhadap akses jalan yang ada,” ungkap Jamaluddin.

http://www.visitlomboksumbawa.net/index.php/berita/242-pariwisata-bima-diantara-kekeringan-dan-kegersangan

PERANG NGALI 1908-1909

pulunk_ Satu abad yang lalu, di wilayah lokal Bima, di region Kae, tepatnya di Ngali (Desa Ngali, Kec. Belo Sekarang) terjadi sebuah eskalasi perasaan kecewa terhadap lemahnya kontrol otoritas kekuasaan lokal (Kesultanan Bima-Sultan Ibrahim) terhadap merajalelanya konsep kolonialisme V.O.C Belanda.
Awalnya, Masalah ini hanyalah menyangkut kewajiban membayar pajak, yang mana tetap diusahakan untuk dipenuhi oleh seluruh masyarakat Bima pada waktu itu.
Pasca 1905, perlawanan rakyat Aceh dapat dilumpuhkan oleh Belanda, tetapi Perang Aceh telah menguras kekayaan Belanda, sehingga untuk meneruskan konsep kolonialismenya di wilayah Tengah dan Timur Nusantara (Makassar-Sumbawa) dan sekitarnya, biro dagang belanda ini lambat laun mempengaruhi kekuasaan lokal untuk lebih mengintenskan penarikan pajak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas perolehan pajak.
Masyarakat Ngali (wilayah Kae umumnya) menangkap gelagat ini setelah adanya tukar informasi dengan veteran perang aceh di kota Mekah, saat menunaikan ibadah Haji, karena memang tercatat dalam sejarah lokal Bima, dan dalam oral history (cerita lisan) yang berkembang di wilayah Ngali, orang Ngali termasuk kelompok masyarakat dari Bima yang pertama kali menunaikan ibadah Haji ke Baitullah, sehingga faktor informasi inilah yang menjadi salah satu pendorong betapa masyarakat Ngali tanpa ragu dan takut untuk “membela wibawa Sultan Ibrahim” di hadapan kesewenang-wenangan Belanda dalam bentuk perlawanan bersenjata .
Perang yang berlangsung dalam 3 tahap besar ini, berakhir dengan tewasnya pimpinan ekspedisi Belanda, Letnan Vastenour, berikut ratusan prajurit (Baik Belanda totok maupun prajurit Marsose/gabungan), di setiap perbatasan Ngali yang diliwati oleh Sungai Besar yang pada waktu itu memang terjadi hujan yang mengakibatkan terjadi banjir deras.
Dengan taktik “membunuh kejut” dan” membunuh senyap” banyak prajurit belanda yang meregang nyawa, terbukti di Kampung Soro Desa Ngali ada kuburan Massal prajurit Belanda yang disebut “Rade Bari” yang berarti Kuburan bagi Pasukan yang datangnya berbaris-baris.
kaitannya dengan eksistensi generasi muda dengan peristiwa yang berlangsung satu abad yang lampau adalah bagaimana generasi muda secara arif untuk menghidupkan kembali nilai-nilai moral yang masih dianggap relevan dengan masa sekarang untuk dijadikan sebuah local value yang membimbing karakter personal untuk tampil lebih menyejukkan.
Fakta-nya adalah, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan peristiwa-peristiwa tindak pidana dengan pemberatan yang dilakukan oleh generasi muda Ngali, baik itu bentrok antar personal maupun bentuk konflik lain yang bersifat massive.
seyogyanya, spirit La Ilaha Ilallah yang berkibar sebagai panji perang Ngali, harus mampu di reformulasikan oleh generasi muda untuk membangun masyarakat, in every singel dimension (dalam setiap lini).
kalau saja generasi muda mau mencermati untuk kemudian mencoba meng-elaborasi nilai-nilai tersebut, tidak perlu jauh-jauh.
Dalam deskripsi filosofis fisik monumen peringatan perang Ngali telah tergambar dengan jelas watak dan karakter para Syuhada, lewat penjabaran site n shape monumen perang Ngali inilah generasi muda harusnya mengambil titik refleksi, dalam setiap penyelenggaraan hidup masyarakat, apakah itu kebutuhan untuk pencarian jati diri? apakah untuk mencari format integrasi personal? apakah untuk problem solving?, semuanya,… karena memang nilai-nilai yang tersirat di situ adalah kristalisasi ajaran-ajaran Dienul Islam yang pada waktu itu sesuai dengan kebutuhan untuk mempererat sendi-sendi kehidupan.
Apakah generasi sekarang tidak mampu lagi berposisi sebagai penerus pembangunan?
Apakah generasi sekarang mudah menghianati pesan-pesan pendahulu?
Apakah generasi sekarang sudah mampu menciptakan dunianya sendiri?
inilah daftar pertanyaan yang harus terus direnungi oleh tiap generasi jika tetap ingin berperan nyata dalam pembentukan masyarakat dan peradaban yang berkembang menuju cita-cita kebaikan dan perbaikan.
jika kemudian generasi terlena atau dilenakan oleh fenomena individualistis, konsumptif, hedonis yang merupakan derivasi dari efek buruk globalisasi dan akulturasi, maka sudah saatnya generasi untuk kembali meng-elaborasi nilai-nilai luhur dari daftar catatan perjuangan para pendahulunya, sebagai referensi relevan bagi penataan di masa kini dan akan datang.

http://ngalitown.wordpress.com/2008/12/22/perang-ngali-1908-1909/

MENGENAL SILSILAH RAJA BIMA / MBOJO

Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.
Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara.
Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : (1) Darmawangsa (2) Sang Bima (3) Sang Arjuna (4) Sang Kula (5) Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda.
Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Mawa’a Bilmana.
Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Raja Bima pertama yang dikenal dengan dewa yang terbit dari dalam potu (bambu Petung) digelar Maharaja Indra Zamrut.
Dewa Indra Zamrut mempunyai dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Salah satu anaknya diangkat menjadi Raja Bima dengan gelar Batara Bima. Batara Bima mempunyai lima orang anak yaitu anak laki-laki pertama diangkat menjadi raja ditanah Dompu, anak laki-laki kedua diangkat menjadi raja ditanah Bolo, anak laki-laki ketiga karena tiada lagi negeri tempat naik kerajaan, beliau berkedudukan di waki, ialah pemegang tempat keramat yaitu Parafu Kini dan Parafu Kalingi dan Uma Kimbi (rumah tempat roh) dan Uma Rafu (rumah tempat pemujaan). Anak laki-laki keempat diangkat menjadi Raja di Tanah Bima dengan gelar dan kedudukan Bata Parapanti sedangkan anak perempaun kelima dibuat bini oleh saudarannya.
Dewa Bata Parapati mempunyai empat orang anak yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Anak pertama laki-laki berkedudukan pada Asi Kalende, memang Bicara dalam tanah Bima. Sedangkan yang naik menjadi Raja Bima anak ketiga laki-laki yang digelar Dewa yang pergi ke Majapahit, yang berkedudukan dalam Bata Ncandi.
Dewa dalam Bata Candi mempunyai anak empat orang, salah satu anak laki-laki pertamanya diangkat menjadi raja Bima digelarkan Nggampo Jawa berkedudukan dalam Bata Baharu. Isteri Dewa Nggampo Jawa adalah saudaranya sendiri yang menetukan dan mendirikan segala Jeneli (Gubenur), tureli (Menteri), bumi (Perwakilan Daerah) Jena (wakil bumi), Nentirasa (kepala Dusun) dan patarasa (Kepala Dusun). Raja Nggampo Jawa tidak mempunyai anak, setelah meninggal, isterinya menikah lagi dengan Dewa Yang Nyata Saruhu. Dewa Yang Nyata Saruhu inilah mengantikan Raja Ngampo Jawa sebagai Raja Bima.
Dewa Yang Nyata Saruhu hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Putra Mahkota inilah yang diangkat mengantikan Raja menjadi Raja Bima yang mempunyai gelar Dewa Dalam Bata Lambu. Dewa Dalam Bata Lambu mempunyai anak dua orang salah satunya diangkat menjadi Raja Bima dengan Gelar Dewa Dalam Bata Bou. Dewa Dalam Bata Bou mempunyai dua puluh orang anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan. Keempat anak laki-laki Dewa Dalam Mata Bou diangkat menjadi Raja di Tanah Bima secara bergilir. Dewa Dalam Bata Bou digantikan oleh anak yang ketiga puluh dengan gelar Mawa’a Paju Longge, Mawa’a Paju Longge digantikan oleh kakaknya dengan gelar Mawa’a Inda Mbojo, Mawa’a Inda Mbojo digantikan oleh Kakaknya dengan gelar Mawa’a Bilmana dan Mawa’a Bilmana digantikan oleh kakanya lagi dengan gelar Manggampo Donggo.
Manggampo Donggo digantikan oleh anak pertama bernama Mambora Ba Pili Tuta naik menjadi Raja Bima. Kemudian Anaknya kedua menjadi Raja dengan gelar Mawa’a Ndapa mengantikan Mambora Ba Pili Tuta. Mawa’a Ndapa digantikan oleh keponakannya anak Mawa’a Taho Sangaji Dompu dengan gelar Mawa’a La Laba.
Mawa’a La Ba digantikan oleh sepupunya yaitu cucu daripada anak laki-laki Dewa yang duduk di Karumbu, naik menjadi raja dengan gelar Mantau La Sadina dan gelar juga Rumata Mawa’a Bilanga. Mantau La Sadina digantikan lagi oleh sepupunya cucu daripada anak laki-laki Manggampo Donggo yaitu anaknya Mambora Ba Pili Tuta yang bernama Mambora Aka Sapaga naik menjadi raja. Setelah digantikan lagi sama anaknya yang bernama Mambora dalam Asi Bata Lambu.
Mambora dalam Asi Bata Lambu digantikan oleh paman sepupu Mambora Aka Sapaga anak dari Mawa’a Ndapa yang bergelar Rumata Samara. Rumata Samara digantikan oleh adiknya yang bergelar Salisi. Salisi digantikan oleh anaknya bergelar Rumata Mantau La Limandaru. Rumata Mantau La Limandaru digantikan oleh pamannya dengan gelar Rumata Mantau Asi Sawo. Rumata Mantau Asi Sawo digantikan oleh adiknya dengan gelar Rumata manuru Salisi.
Pada masa tahta Raja Rumata manuru Salisi mulai di kenal agama Islam. Kerajaan Bima pada waktu itu sekitar tahun 1618-1619 diIslamkan oleh Sultan Goa dari Makassar. Rumata manuru Salisi digantikan oleh keponakannya anak dari Rumata Mantau Asi Sawo bernama Al-Sultan Abdul Kahir al-Marhum dengan gelar Rumata Mantau Bata Wadu pada tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada massa Rumata Mantau Bata Wadu peralihan dari model Kerjaan menjadi Kesultanan setelah Bima dikalahkan dua kali oleh armada Makassar pada tahun 1618-1619, Dengan kekalahan ini Bima berkewajiban membayar upeti setiap tahunnya, Raja Bima pertama kali masuk Islam pada tanggal 7 Februari 1621 dia digelarkan Sultan Abdul Kahir al-Marhum. Sultan Abdul Kahir al-Marhum dididik agama Islam oleh dua orang mubalik dari Sumatra, yaitu Datuk ri Bandang dan Datuk ri Tiro. Sultan Abdul Kahir al-Marhum disuruh oleh Sultan Goa Alauddin untuk memperisteri iparnya Daeng Sikontu, Putri Karaeng Kasuarang pada tahun 1625. Dari pernikahan ini melahirkan empat oran anak yaitu yang diberi gelar Rumata Mantau Bata, Rumata Mantau Uma Jati (Abi’l-Kahair Sirajuddin), Rumata Paruwa dan Rumata Mambora di Kenari.
Pada masa kesultanan Abdul Kahir al-Marhum sebagian besar masyarakt Bima tidak menyetujui aliansi raja dengan Makassar, maka pada tahun 1632 masyarakat Bima memberontak dengan bantuan Raja Dompu. Sultan Abdul Kahir al-Marhum digulingkan oleh rakyatnya dan dibuang ke Pulau Gunung Api. Raja Makassar sangat marah dan memerintahkan armadanya menghancurkan masyarakat Bima untuk memulihkan tahta iparnya Sultan Abdul Kahir al-Marhum pada Tahun 1633.
Sultan Abdul Kahir al-Marhum meninggal pada tahun 1640 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abi’l-Kahair Sirajuddin dengan gelar Rumata Mantau Uma Jati. Pada waktu diangkat sebagai Sultan, Abi’l-Kahair Sirajuddin baru berumur 11 Tahun, sehingga pasti tidak bias memerintah langsung tetapi diwakili oleh Raja Bicara. Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin menikah dengan Karaeng Bonto Je’ne. Karaeng Bonto Je’ne adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. Dari pernikahan ini melahirkan delapan orang anak diberi gelar Rumata Paduka Dompu, Rumata Mawa’a Paju (Nuruddin Abu Bakar Ali Syah), Rumata Bonto Raja, Rumata Paduka Talo, Rumata panaraga, Rumata Makanae Daeng Taliba, Mambora Awa Taloko dan Mambora Awa Moyo. Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin memerintah selama 42 Tahun.
Sultan Abi’l-Kahair Sirajuddin meninggal pada tahun 1682 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Nuruddin Abu Bakar Ali Syah dengan Gelar Rumata Mawa’a Paju. Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 Mei 1684. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang anak diberi gelar Rumata Sangaji Bolo dan Rumata Mawa’a Romo (Jamaluddin ‘Inayat Syah). Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah hanya memerintah selama lima tahun oleh karena meninggal pada usia 36 tahun.
Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Syah meninggal pada tahun 1687 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Jamaluddin ‘Inayat Syah dengan Gelar Rumata Mawa’a Romo. Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. Dari pernikan tersebut melahirkan lima orang anak diberi gelar Rumata Mantau Bata Boa (Hasanuddin Muhammad Ali Syah), Rumata Mambora di Oi Banti, Rumata Ina Bawa, Rumata Jeneli Sape mambora di Akuwu dan Anak Lamo Membuat Asi Reyo. Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah waktu diangkat baru berumur 14 tahun sehingga pemerintahan dijalankan oleh raja bicara Tureli Donggo. Waktu Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah berumur 20 Tahun dituduh oleh Raja Dompu membunuh isterinya, Daeng Mami. Isteri Raja Dompu adalah bibi dari Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah. Atas tuduhan tersebut majelis yang terdiri atas wakil kompeni (Presiden Prins) dan wakil dari dua puluh satu kerajaan sekutu kompeni memutuskan Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah bersalah dan patut dihukum. Pada tahun 1695 Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah dibuang Batavia dan setahun kemuadian Sultan meninggal disana.
Sultan Jamaluddin ‘Inayat Syah meninggal pada tahun 1696 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Hasanuddin Muhammad Ali Syah dengan Gelar Rumata Mantau Bata Boa yang baru berumur 7 Tahun. Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate’ne, pada tanggal 12 September 1704. Dari pernikahan ini melahirkan enam orang anak diberi gelar Rumata Manuru Daha, Rumata Paduka Talo, Rumata Mambora Ipa Bali, Bumi Ruma Kae, Lomo Isa dan La Muni.
Sultan Hasanuddin Muhammad Ali Syah memerintah selama 35 tahun dan meninggal pada tahun 1731 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam digelarkan Rumata Manuru Daha. Sultan Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. Mas Kawin pernikahan itu tanah Manggarai. Dari pernikahan ini melahirkan empat orang anak yaitu Rumata Sultan Kamalat Syah, Rumata Paduka Goa, Rumata amawa’a Taho (Sultan Abdul Kadim) dan La halima.
Sultan Alauddin Muhammad Syah Zillullah Fi Al-alam meninggal pada tahun 1748 digantikan oleh anak perempuannya Rumata Sultan Kamalat Syah dengan gelar Rumata Ma Kalosa Weki Ndai karena putra mahkota Abdul Kadim Muhammad Syah dengan gelar Rumata amawa’a Taho baru berumur 13 Tahun. Sultan Kamalat Syah menikah dengan Sultan Harun Al-Rasyid dengan gelar`Karaeng Kanjilo dari Goa Tallo, dari pernikahan ini lahir raja Sepanang.
Sultan Kamalat Syah hanya memerintah selama tiga tahun karena Belanda tidak menyetujui perkawinannya dengan Karaeng Kanjilo, sehingga dia dipaksa turun takhta pada tahun 1751, dan digantikan oleh adiknya Abdul Kadim Muhammad Syah. Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah mempunyai dua orang isteri. Dari Isteri pertama melahirkan empat orang anak bernama Raja Jene Teke, Abdul Hamid Muhammad Syah, La Minda Ratu Perempuan dan Daeng Matayang. Dari Isteri kedua hanya satu orang anak bernama La Mangga nama kecil nama dewasanya Daeng Pabeta dengan gelar Jeneli Bolo.
Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah meninggal pada tahun 1773 digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdul Hamid Muhammad Syah. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mantau Asi Saninu mempunyai dua orang anak yaitu Ismail Muhammad Syah dari pernikahannya dengan putri sultan Sumbawa pada tahun 1792 dan Bumi Kaka, anak dengan gundiknya bernama Jamila. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah diangkat menjadi Sultan umur 11 tahun maka Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah mengangkat Tureli Donggo Abdul Nabi sebagai raja bicara. Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah memerintah tidak kurang 44 tahun mulai tahun 1773 s/d 1817. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah ini terjadi malapetaka besar di pulau Sumbawa pada bulan April 1815 Gunung Tambora meletus.
Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah meninggal pada tahun 1817 digantikan naik takhta kerajaan pada tahun 1819 oleh anaknya Ismail Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Alus. Sultan Ismail Muhammad Syah memerintah selama 37 Tahun, tapi Sultan Ismail Muhammad Syah tidak berwatak pemimpin sehingga urusan banpemerintahan dibawah kendali raja bicara Abdul Nabi dan Muhammad Yakup. Sultan Ismail Muhammad Syah mempunyai anak Abdullah Muhammad Syah.
Sultan Ismail Muhammad Syah meninggal pada tahun 1854 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdullah Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Adil. Sultan Abdullah Muhammad Syah menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini lahir Abdul Aziz Muhammad Syah dan Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah. Sultan Abdullah Muhammad Syah ketika diangkat baru berumur 10 tahun maka roda pemerintahan dilaksanakan oleh raja bicara.
Sultan Abdullah Muhammad Syah meninggal tahun 1868 dan digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Abdul Aziz Muhammad Syah dengan gelar Rumata Mawa’a Sampela.
Sultan Abdul Aziz Muhammad Syah digantikan naik takhta kerajaan oleh saudarannya Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah dengan gelar Rumata Mawa’a Taho Perange. Sultan Ibrahim mempunyai seorang anak bernama Muhammmad Salahudiin.
Sultan Ibrahim ibn al-Sultan Abdullah digantikan naik takhta kerajaan oleh anaknya Muhammmad Salahudiin pada tahun 1888 dengan gelar Ma Kadidi Agama. Sultan Muhammmad Salahudiin dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917. Sultan Muhammmad Salahudiin mempunyai dua orang anak Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka’u Mari). Masa pemerintahan Sultan Muhammmad Salahudiin adalah masa pemerintahan terakhir kesultanan Bima karena setelah itu tidak ada lagi diangkat sultan.
Sultan Muhammmad Salahudiin meninggal seharusnya putra mahkota Abdul Kahir II (Ama Ka’u Kahi) yang naik takhta. Putra Kahir menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Ferry Zulkarnain, ST yang memimpin sebagai Bupati Kabupaten Bima mulai tahun 2004 sampai sekarang.
Pustaka : Bo’ Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima Oleh Henri Chambert Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin Terbitan Ecole francaise d’Extreme-Orient Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1999. dan Artikel dari www.bimakab.go.id
Mohon Masukaan Untuk Perbaikan Tulisan Ini
Untuk Generasi Muda Bima Mendatang

http://ngalitown.wordpress.com/2009/01/04/mengenal-silsilah-raja-bima-mbojo/

MUSEUM SAMPARAJA

Pariwisata Bima

museum samparajaMuseum “Samparaja” Bima merupakan salah satu usaha dari Yayasan Museum Kebudayaan “Samparaja” Bima yang diketua oleh Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, SH., puteri dari Sultan Salahuddin Sultan Bima terakhir.
Yayasan ini didirikan dengan Akte Notaris Nomor: 493 pada hari Sabtu tanggal 17 Agustus 1985, dengan tujuan untuk sejauh mungkin bisa menyelamatkan benda-benda budaya bersejarah dari kepunahan, melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang adi luhung dan mengadakan usaha penelitian serta pembahasan menyangkut kebudayaan daerah Bima untuk memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia.
Khusus mengenai peninggalan Kesultanan Bima yang berupa naskah-naskah lama yang tertulis dalam aksara Arab berbahasa Melayu yang jumlahnya cukup banyak, dilakukan tindakan penyelamatan terhadap fisik maupun isi naskah yang mengandung berbagai macam jenis ilmu, sejarah pemerintahan di Bima, Hukum Adat dan Hukum Islam yang diterapkan, ilmu pertanian, kelautan, perbintangan, hubungan interaksi dengan daerah-daerah lain mauoun hubungan perdagangan dengan negara asing.
Oleh karena itu, dalam tahun 1987,1988, 1989, usaha Ketua Yayasan adalah menyelamatkan naskah-naskah yang ada dengan cara mengawetkan atau dilaminasi atas bantuan dan kerjasama dengan Arsip Nasional R.I di Jakarta. Sehingga, hampir seluruh naskah secara bertahap sudah bisa diselamatkan dari kepunahan, termasuk kitab-kitab Al Qur’an tulis tangan peninggalan kesultanan (La Nonto Gama) pun sudah diawetkan. Kurang lebih jumlah naskah yang sudah dikerjakan sebanyak 2.500 lembar dilaminasi bisa bertahan 50-100 tahun lagi berarti bisa dibaca dan dipelajari oleh generasi sekarang dan akan datang.
Karena tujuan pertama dari Yayasan Museum Kebudayaan menyediakan sarana khusus untuk naskah-naskah tersebut, maka rencana mendirikan museum sebagai wadah untuk menghimpun berbagai corak dan ragam karya budaya mulai dirintis. Setelah diadakan konsultasi dengan Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayan di Jakarta, disarankan untuk membuat museum tidak hanya untuk naskah saja, akan tetapi dibuat suatu museum etnografi atau museum khusus benda-benda budaya termasuk di dalamnya naskah-naskah.
Pada tahun 1990, oleh Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, SH, didirikan suatu gedung museum yang berarsitektur tradisional Bima “Uma Ceko dan diresmikan pembukaannya oleh Bupati Bima Adi Haryanto yang dihadiri oleh wakil dari Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1995, di Bima.
Selain sebagai sarana untuk menyimpan benda-benda budaya dan bersejarah, Museum “Samparaja” juga memperagakan berbagai pakaian adat lama semasa Kesultanan Bima dari pakaian adat pangkat-pangkat adat, pakaian upacara upacara-upacara adat, pakaian penganten dan pakaian adat anak-anak. Peragaan menggunakan boneka-boneka manequin laki-laki/perempuan yang ditempatkan dalam vitrin. Selain dari pada itu, tersimpan pula benda-benda hasil karya tradisional berupa ukiran dari kayu dan perak serta barang-barang keramik lama.
Benda-benda budaya yang tersimpan dari Museum “Samparaja” merupakan koleksi pribadi dari Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, SH di luar benda-benda pusaka dan atribut Kesultanan Bima yang disimpan di Museum “Asi Mbojo” . Dengan demikian, Museum Kebudayaan “Samparaja” Bima berstatus sebagai museum pribadi.
Museum Kebudayaan “Samparaja” juga berfungsi sebagai sumber informasi dan penelitian/pengkajian kebudayaan Bima dengan terkumpulnya naskah-naskah bersejarah dan tulisan-tulisan yang mengungkap masalah budaya.
Sementara itu, pada tahun 1990 diterbitkan Katalog Naskah Bima dengan judul Katalogus Naskah Melayu-Bima Jilid I yang disusun oleh Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, SH (Ketua Yayasan Museum “samparaja” Bima) bersama seorang ahli philoloog, Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta, DR. Wulan Rujiati Mulyadi. Dan pada tahun 1992diterbitkan jilid ke II-nya.
Dari naskah Museum “Samparaja: yang sudah ditransliterasi ke dalah Huruf Latin (karena naskah asli tertulis dalam aksara Arab berbahasa Melayu) telah diterbitkan satu buku berjudul “Bo Sangaji Kai” (catatan-catatan Kerajaan Bima) setelah lebih kurang 700 halaman, disusun bersama oleh DR. Henri Chambert Loir. Ahli Philoloog Perancis dari Lembaga Kebudayaan Perancis EFEO (Ecole Francaise di Extrime Orient) dan Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, SH yang diluncurkan tanggal 3 Februari 2000 di Perpustakaan Nasional RI Jakarta. Buku ini telah menjadi salah satu Dokumen Nasional.
Bersyukur ada perhatian Pemerintah Daerah Propinsi NTB dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bima yang membantu pembiayaan percetakan. Dalam hal ini, Drs. H. Warsito da. Drs. Harun Alrasyid M.Si serta Bupati Bima Adi Haryanto.
Bantuan juga diperoleh dari Museum Negeri NTB Mataram berupa vitrin-vitrin kaca dan beberapa buah boneka peragaan untuk ruangan pameran.
Dalam tahun 2004 Pemerintah Daerah Kota Bima telah amembentu Museum “Samparaja” dengan biaya untuk menambah ruangan yang akan menjadi ruangan perpustakaan/ruang baca.
Museum “Samparaja” telah terdaftar namanya dalam buku “Khasanah Naskah” panduan koleksi naskah-naskah Indonesia sedunia Word Guide To Indonesia Collections” . Sejalan dengan itu, agar sejarah Kebudayaan Bima dikenal oleh generasi muda dan dunia luar, Museum “Samparaja” membuka kesempatan dan memupuk perhatian cendekiawan/ilmuwan untuk melakukan studi penelitian naskah-naskah yang mengandung ilmu agama Islam yang diimplementasikan ke dalam kehidupan berpemerintahan dan bermasyarakat di daerah Bima pada zaman kesultanan.
Untuk menambah pengetahuan, Museum “Samparaja” mengirim petugas dan/atau peminat ke setiap kesempatan penataran pelestarian dan pemeliharaan naskah (konservasi naskah) dan lain-lain.
Pada bulan Maret 2007, oleh Perpustakaan Nasional Jakarta dilakukan konsevasi, digitalisasi dan mikro film terhadap kurang lebih 2200 (dua ribu dua tatus) lembar naskah kuno (manuskrip) yang lepas maupun yang dijilid bertempat di Museum “Samparaja” di Bima. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh 9 (sembilan) orang petugas dari Perpustakaan Nasional Jakarta dalam waktu 3 (tiga) hari. Juga dilakukan digitalisasi dan mikro film dari naskah-naskah yang sudah dikonservasi sebelumnya.
Dengan demikian, Museum “Samparaja” Bima sampai saat ini menyimpan naskah-naskah kuno (manuskrip) yang sudah dilaminasi, didigitalisasi dan mikrofilmkan sejumlah kurang lebih 5000 (lima ribu) lembar naskah lepas dan yang dijilid.
Saat ini Museum “Samparaja” Bima mendapat tugas sebagai penyelenggara Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XI, di Bima tanggal 26-28 Juli 2007 dan Kepaala Museum “Samparaja” Bima ditugaskan sebagai Ketua Panitia Pelaksanasimosium tersebut.

http://ngalitown.wordpress.com/pariwisata-bima/

DINAMIKA POLITIK KESULTANAN BIMA ABAD 17 – 18 M


BAB I
PENDAHULUAN

Bima merupakan daerah tingkat II di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebelum bergabung dengan NKRI Daerah Bima telah melewati perjalanan sejarah yang panjang, dari masa sebelum Islam yang hingga kini masih sulit untuk diungkapkan serta dipaparkan sejarahnya karena keterbatasan sumber, Hingga pada masa-masa proklamasi kemerdekaan pergolakan masih terjadi walaupun sifatnya dalam skala lokal.

Dalam konteks Sejarah Nasional Peran Bima dalam Dinamika politiknya jarang diungkap. hal ini mungkin dikarenakan porsi partisipasi pergolakan kekuasaan di sana banyak bersifat lokal dan regional wilayah saja. Selain itu penulisan sejarah tentang Bima juga banyak dilatar belakangi oleh Nasionalisme berlebihan sehingga tulisan-tulisan sejarah lokal tentang peran Bima dalam dinamika politik nasional terkesan dipaksakan. Dari sini penulis berusaha membuat tulisan dengan landasan historis lokal yang juga memaparkan karakteristik masyarakat Bima, sehingga selain pembaca bisa mengetahui Dinamika kekuasaan di Bima, pembaca juga bisa menilai sendiri bagaimana kondisi masyarakat Bima Abad 17-18 M.

Masyarakat Bima adalah masyarakat dengan kontruksi yang heterogen. Dalam masyarakat Bima terdiri dari komposisi ras yang lumayan beragam. Kapan dan bagaimana Bima bisa memiliki komposisi masyarakat yang demikian secara historis penulis akan mencoba memaparkan dalam tulisan ini yang mengangkat judul “Dinamika Sosial dan Politik Kesultanan Bima Abad 17 – 18 M” Bima masa kesultanan atau menurut Bpk. Ari Sapto M.Hum (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang) lebih tepat disebut Kerajaan Islam Bima yang dalam sejarahnya banyak ikut serta dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama dalam masa awal pemerintahan kerajaan Islam Bima sekitar abad 17 M. 

Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan serta monopoli Perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangan selanjutnya ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di pulau sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda. Dari awal abad 17 M sampai pada awal abad 19 M Belanda sebagai kongsi dagang (VOC) maupun Belanda Sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha Hegemoni kekuasan di wilayah ini, baik dengan politik Adu domba maupun dengan melakukan berbagai perjanjian akhirnya berhasil menguasai penuh lingkungan Istana, sehingga berujung dengan perjanjian yang dikenal dengan “Conract Met Bima”. Perjanjian ini menujukkan Bahwa kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah Hegemoni Hindia Belanda.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Bima Pada Masa Awal Kesultanan

Sebelum membahas lebih dalam tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, untuk lebih jelasnya penulis ingin mengupas secara umum kondisi Bima sebelum Era Kesultanan walaupun sulit untuk menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada saat itu dikarenakan keterbatasan sumber, namun beberapa tulisan terdahulu tentang kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam sebelum lebih lanjut Islam masuk ke dalam kancah Politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’a2 yang terletak di desa Sowa kec. Donggo, Pesisir Barat Ujung Utara Teluk Bima.

Dalam proses masuknya Islam di Bima terdapat beberapa pendapat, diantaranya dalam buku “peranan kesultanan Bima dalam perjalanan sejarah nasantara” karangan M. Hilir Ismail menyebutkan Islam tersebar di wilayah lombok dan sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra sunan Giri pada 1540 – 1550 M, selain arus Islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi pada sekitar tahun 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (Catatan lama Istana Bima).
Kesultanan Bima dalam kancah perpolitikan Nusantara pada Abad 17 banyak mengalami berbagai pergolakan baik di Bima sendiri maupun di wilayah timur nusantara. Hubungan Bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik selain karena persamaan Ideologi Kerajaan (Islam) juga karena adanya Hubungan darah antara pemegang kekuasaan kedua Kerajaan.

Seperti yang telah dibahas pada Sub-bab sebelumnya, Islam masuk ke Wilayah pemerintahan kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Disamping itu perkawinan antara Sultan pertama Bima Sultan Abdul Kahir, sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan Intrik politik yang cukup popular pada abad-abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral Kedua kerajaan.

B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda Dalam Dinamika Politik di Kerajaan Islam Bima.

Kontak pertama antara Bima dengan orang-orang Belanda telah dimulai sejak awal abad ke 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara raja Bima, Salasi dengan orang Belanda bernama steven Van Hegen pada tahun 1605. Dalam sumber local perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui, namun pada masa-masa berikutnya tampak telah terjalin hubungan dagang antara Bima dengan VOC yang berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komodii lainnya.

Secara politis hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai Akibat keikut sertaan Sultan Biama, Abdul Khair Sirajudin membantu kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanudin terpaksa menanda tangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1667, yang dikenal sebagai perjanjian Bongaya. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan kerajaan Bima dengan kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling Membantu. Dalam kontrak tahun 1669 Bima memberikan terobosan pada kompeni untuk
berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang kompeni yang keluar masuk pelabuhan. Setiap terjadinya tergantian raja atau sultan kontrak baru pun dibuat selain untuk tujuan memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga secara perlahan-lahan kompeni bermaksud untuk mempatkan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau sumbawa di bawah kekuasaannya. Selain itu pertikaian antara elit penguasa di pulau sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan pada VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh pada tnaggal 9 Februari 1765 VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di pulau Sumbawa yaitu: Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar Gubernur VOC bersepakat denagn Abdul Kadim Raja Bima, Datu Jerewe raja Sumbawa, Ahmad Alaudin Juhain Raja Dompu, Abdul Said Raja Tambora, Muhamad Ja Hoatang Raja Sanggar dan Abdul Rachman Raja Pekat, untuk secara bersama-sama dengan VOC memelihara ketentraman, bersahabat baik dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di pulau sumbawa baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya, demikian juga prosedur-prosedur dari masa yang berbeda-beda yang telah dibuat dengan VOC masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada tahun 1675 VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbharui lagi pada tahun 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima. Mula-mula ditempatkan seorang dengan jabatan Koopman atau Onderkopman, kemudian seorang residen dan akhirnya seorang Komandan. Pada tahun 1708 J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama, namun pda tahun 1771 jabatan residen digantiakan oleh jabatan komandan sampai tahun 1801.
Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan yang abadi didasarkan atas ketulusan, kepercayaan dan kejujuran. Dan sebagai konsekwensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di pulau sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa eropa lain atau dengan seseorang kecuali dengan persetujuan dan ijin dari VOC. Meskipun demikian berkaitan dengan penempatan residen di Bima, harus dengan persetujuan kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makasar.

Akibat lain dari perjanjian ini ialah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC orang-orang Makasar adalah para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dengan Makassar telah berjalan lama. Pada tahun 1695 telah terjadi pelarian orang-orang makassar dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada tahun 1667. pada tahun 1701 orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai, namun ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu, karena hubungan Bima dengan Makassar idak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dengan putrid bangsawan Gowa.
Pada tahun 1759 sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Tetapi mereka tidak dapat bertahan lama karena pada tahun 1762 dengan bantuan VOC. Bima dapat menguasai kembali daerah manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk manguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada tahun 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil.
Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbaharui Dari VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Terakhir perjanjian yang menurut penyaji merupakan titik puncak Hegemoni Belanda atas kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh sultan Ibrahim pada tanggal 6 februari 1908 yang disebut Contract met Bima. Perjanjian tersebut antara lain berisi:
1. Sultan Bima mengakui kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda. Dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2. Sultan Bima Berjanji senantiasa tidak melakukan kerjasama dengan bangsa kulit putih lain.
3. Apabila Gubernur Jendral Hindia Belanda menghadapi perang. Maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah kesultanan Bima kepada bangsa lain keculai Belanda.
Walaupun pada perkembangan selanjutnya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, namun tetap saja kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Dan hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap, dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan.


http://komplasi.blogspot.com/2009/03/dinamika-politik-kesultanan-bima-abad.html
HUMAS IKAHIMSI Wilayah III Jawa Timur (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia)